BAB I
KONSEP GEOGRAFI KETENAGAKERJAAN
Sebelum anda membaca harap anda mendownload terlebih dahulu UU no. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
di--- > http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCgQFjAA&url=http%3A%2F%2Fptkhi.skkmigas.go.id%2FPTKHI%2Ffiles%2FUU-13-2003-KETENAGAKERJAAN.doc&ei=6hSDUs_gD4GMrgfA4oDwCg&usg=AFQjCNFj3zRZ4-vfYIA8klYKALnsWj9r3g&sig2=SKuqoexhO7zEIYfk2ZlCww&bvm=bv.56343320,d.bmk
PENDAHULUAN
Tersedianya
lapangan/kesempatan kerja baru untuk mengatasi peningkatan penawaran tenaga
kerja merupakan salah satu target yang harus dicapai dalam pembangunan ekonomi
daerah. Upaya tersebut dapat diwujudkan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi
khususnya investasi langsung (direct investment) pada sektor-sektor yang
bersifat padat karya, seperti konstruksi, infrastruktur maupun industri
pengolahan. Sementara pada sektor jasa, misalnya melalui perdagangan maupun
pariwisata. Tenaga kerja adalah orang yang siap masuk dalam pasar kerja sesuai
dengan upah yang ditawarkan oleh penyedia pekerjaan. Jumlah tenaga kerja
dihitung dari penduduk usia produktif (umur 15 thn–65 thn) yang masuk kategori
angkatan kerja (labourforce).
Kondisi di negara berkembang pada umumnya
memiliki tingkat pengangguran yang jauh lebih tinggi dari angka resmi yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena ukuran sektor informal
masih cukup besar sebagai salah satu lapangan nafkah bagi tenaga kerja tidak
terdidik. Sektor informal tersebut dianggap sebagai katup pengaman bagi
pengangguran.
Angka resmi tingkat pengangguran umumnya menggunakan indikator pengangguran terbuka, yaitu jumlah angkatan kerja yang secara sungguh-sungguh tidak bekerja sama sekali dan sedang mencari kerja pada saat survei dilakukan. Sementara yang setengah pengangguran dan penganggur terselubung tidak dihitung dalam angka pengangguran terbuka, karena mereka masih menggunakan waktu produktifnya selama seminggu untuk bekerja meskipun tidak sampai 35 jam penuh.
Angka resmi tingkat pengangguran umumnya menggunakan indikator pengangguran terbuka, yaitu jumlah angkatan kerja yang secara sungguh-sungguh tidak bekerja sama sekali dan sedang mencari kerja pada saat survei dilakukan. Sementara yang setengah pengangguran dan penganggur terselubung tidak dihitung dalam angka pengangguran terbuka, karena mereka masih menggunakan waktu produktifnya selama seminggu untuk bekerja meskipun tidak sampai 35 jam penuh.
Sumber
data ketenagakerjaan seperti instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan yang berada di daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota tidak
pernah lagi mau mengirim data dan informasi ke pusat .Kondisi ini telah
mempengaruhi keberadaan data dan informasi ketenagakerjaan, yang pada akhirnya
data dan informasi ketenagakerjaan yang dipergunakan saat ini masih bertumpu
pada data dan informasi ketenagakerjaan yang bersifat makro. Data dan informasi
ketenagakerjaan makro tersebut, sampai saat ini belum mampu untuk menjawab
berbagai tantangan dan masalah ketenaga-kerjaan yang dihadapi.
1.1. Defenisi,
Teori dan Konsep
1.1.1 Tenaga Kerja
Menurut Eeng Ahman dan Epi Indriani, pengertian tenaga
kerja adalah jumlah penduduk yang dianggap atau sanggup bekerha bila ada
permintaan kerja. Sedangkan menurut Dr. Payman, tenaga kerja adalah produk yang
sedang bekerja, Sedang mencari pekerjaan, atau sedang melaksanakan pekerjaan
seperti bersekolah atau ibu rumah tangga.
Konsep dan
definisi angkatan kerja yang digunakan mengacu kepada The Labor Force Concept
yang disarankan oleh International Labor Organization (ILO). Konsep ini membagi
penduduk usia kerja (digunakan 15 tahun ke atas) dan penduduk bukan usia kerja
(kurang dari 15 tahun).
Tenaga kerja merupakan penduduk
yang berada dalam usia kerja. Menurut UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2
disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk masyarakat. Secara garis besar penduduk suatu negara
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja.
Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut telah memasuki usia
kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia
adalah berumur 15 tahun – 64 tahun. Menurut pengertian ini, setiap orang yang
mampu bekerja disebut sebagai tenaga kerja. Ada banyak pendapat mengenai usia
dari para tenaga kerja ini, ada yang menyebutkan di atas 17 tahun ada pula yang
menyebutkan di atas 20 tahun, bahkan ada yang menyebutkan di atas 7 tahun
karena anak-anak jalanan sudah termasuk tenaga kerja.
Tenaga kerja memegang peranan yang sangat penting dalam
roda perekonomian suatu negara, karena:
1.
Tenaga
kerja merupakan salah satu faktor produksi.
2.
Penentu keoptimalan Pemberdayaan Sumber
Daya Alam.
3. Kewiraswastaan/
kemandirian penduduk dalam memenuhi kebutuhannya.
Tenaga kerja juga penting dilihat dari segi kesejahteraan
masyarakat. Adapula masalah yang ditimbulkan dari banyaknya
tenaga kerja:
1.
Masalah-masalah
perluasan kesempatan kerja.
2.
Pendidikan
yang dimiliki angkatan kerja.
3. Pengangguran.
Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang sangat
penting bagi setiap negara di samping faktor alam dan faktor modal. Mengapa
tenaga kerja disebut sebagai faktor produksi? Karena meskipun suatu negara
memiliki sumber daya alamdan modal yang besar ia tetap membutuhkan tenaga kerja
sebagai salah satu
faktor produksinya. Contoh, Malaysia yang kaya akan sumber daya alam dan modal
harus mendatangkan tenaga kerja dari Indonesia untuk mengisi
kekurangan tenaga kerja berbagai sektor ekonominya.
faktor produksinya. Contoh, Malaysia yang kaya akan sumber daya alam dan modal
harus mendatangkan tenaga kerja dari Indonesia untuk mengisi
kekurangan tenaga kerja berbagai sektor ekonominya.
1.1.2 Penduduk Usia Kerja
Usia
Kerja adalah suatu tingkat umur seseorang yang diharapkan sudah dapat bekerja
dan menghasilkan pendapatannya sendiri. Usia kerja ini berkisar antara 14
sampai 55 tahun. Selain penduduk dalam usia kerja, ada juga penduduk di luar
usia kerja, yaitu di bawah usia kerja dan di atas usia kerja. Penduduk yang
dimaksud yaitu anak-anak usia sekolah dasar dan yang sudah pensiun atau berusia
lanjut. Selanjutnya penduduk usia kerja dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
1.1.3 Angkatan Kerja
Angkatan kerja merupakan golongan penduduk laki –laki
atau perempuan usia produktif yg sedang bekerja atau mencari kerja, punya
pekerjaan sementara tidak dan tidak punya pekerjaan sama sekali tetapi aktif
mencari pekerjaan.
Konsep dan definisi angkatan kerja yang digunakan
mengacu kepada The Labor Force Concept yang disarankan oleh International Labor
Organization (ILO). Konsep ini membagi penduduk usia kerja (digunakan 15 tahun
ke atas) dan penduduk bukan usia kerja (kurang dari 15 tahun). Selanjutnya penduduk usia kerja dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Khusus untuk angkatan kerja meliputi antara lain:
a) Bekerja
b) Punya pekerjaan tapi
sementara tidak bekerja
c) Mencari pekerjaan
(pengangguran terbuka).
Angkatan kerja dapat didefinisikan sebagai penduduk
yang sudah memasuki usia kerja, baik yang sudah bekerja, belum bekerja, atau sedang
mencari pekerjaan. Prof. Soemitro Djojohadikusumo mendefinisikan angkatan kerja
(labor force) sebagai bagian dari jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan atau
yang sedang mencari kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang produktif.
Angkatan kerja dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu
pekerja (employed)
dan bukan pekerja atau pengangguran (unemployed). Pekerja adalah penduduk
angkatan kerja yang benar-benar mendapat pekerjaan penuh, sedangkan pengangguran adalah penduduk usia kerja tetapi belum mendapatkan kesempatan bekerja.
dan bukan pekerja atau pengangguran (unemployed). Pekerja adalah penduduk
angkatan kerja yang benar-benar mendapat pekerjaan penuh, sedangkan pengangguran adalah penduduk usia kerja tetapi belum mendapatkan kesempatan bekerja.
Mulai Tahun 2005, SAKERNAS dilaksanakan secara semester I (bulan Pebruari)
dan Semester II (bulan Agustus). Survei tersebut dilaksanakan oleh Badan Pusat
Statistik di seluruh Indonesia.
Sumber utama data ketenagakerjaan adalah Survei
Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Survei ini khusus dirancang untuk
mengumpulkan informasi/ data ketenagakerjaan. Pada beberapa survei sebelumnya,
pengumpulan data ketenagakerjaan dipadukan dalam kegiatan lainnya, seperti
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Sensus Penduduk (SP), dan Survei
Penduduk Antar Sensus (Supas). Sakernas pertama kali diselenggarakan pada tahun
1976, kemudian dilanjutkan pada tahun 1977 dan 1978. Pada tahun 1986-1993,
Sakernas diselenggarakan secara triwulanan di seluruh provinsi di Indonesia,
sedangkan tahun 1994 - 2001, Sakernas dilaksanakan secara tahunan yaitu setiap
bulan Agustus. Sejak tahun 2002 hingga sekarang, di samping Sakernas tahunan
dilakukan pula Sakernas Triwulanan. Sakernas Triwulanan ini dimaksudkan untuk
memantau indikator ketenagakerjaan secara dini di Indonesia, yang mengacu pada
KILM (the Key Indicators of the Labour Market) yang direkomendasikan oleh ILO
(theInternational Labour Organization).
Penduduk Usia Kerja adalah Penduduk yang berumur 15
tahun keatas. Angkatan Kerja
adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya
pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran.
Sumitro Djojohadikusumo mendefinisikan angkatan
kerja sebagai bagian dari jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan atau yang
sedang mencari kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang produktif.
Faktor-faktor yang menentukan angkatan kerja menurut Sumitro diantaranya:
a.
Jumlah
dan sebaran usia penduduk.
b.
Pengaruh
keaktifan bersekolah terhadap penduduk berusia muda.
c.
Peranan
kaum wanita dalam perekonomian.
d.
Pertambahan penduduk
yang tinggi.
e.
Meningkatnya jaminan
kesehatan.
1.1.4
Pekerja
Pekerja (employed) sendiri dikelompokkan menjadi dua,
yaitu pekerja
penuh (full employed) dan pekerja setengah pengangguran (underemployed).
Pekerja penuh adalah angkatan kerja yang sudah memenuhi syarat sebagai
pekerja penuh yaitu jam kerja minimal 40 jam per minggu, dan bekerja
sesuai dengan keahlian atau berdasarkan pendidikan.
penuh (full employed) dan pekerja setengah pengangguran (underemployed).
Pekerja penuh adalah angkatan kerja yang sudah memenuhi syarat sebagai
pekerja penuh yaitu jam kerja minimal 40 jam per minggu, dan bekerja
sesuai dengan keahlian atau berdasarkan pendidikan.
Sedangkan setengah pengangguran adalah pekerja yang
tidak memenuhi
jam kerja minimal sehingga pendapatannya juga di bawah standar minimal.
Pekerja seperti ini tingkat produktivitasnya rendah karena mereka bekerja bukan
pada bidang keahliannya dan tidak sesuai latar belakang pendidikannya.
Misalnya, sarjana yang bekerja sebagai tukang antar koran di pagi hari.
jam kerja minimal sehingga pendapatannya juga di bawah standar minimal.
Pekerja seperti ini tingkat produktivitasnya rendah karena mereka bekerja bukan
pada bidang keahliannya dan tidak sesuai latar belakang pendidikannya.
Misalnya, sarjana yang bekerja sebagai tukang antar koran di pagi hari.
1.1.5 Bekerja
Bekerja adalah melakukan pekerjaan dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya
bekerja paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu
(termasuk pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan
ekonomi).
1.1.6 Pengangguran
Pengangguran adalah angkatan kerja yang belum dan
sedang mencari pekerjaan. Pengangguran terjadi karena jumlah penawaran tenaga
kerja lebih besar daripada permintaan tenaga kerja. Dengan kata lain,
terjadinya surflus penawaran tenaga kerja di pasar tenaga kerja.Pengangguran
seringkali menjadi salah satu permasalahan negera-negara berkembang, disatu
sisi jumlah penduduk dari tahun ketahun terus bertambah, disisi lain
peningkatan kemampuan ekonomi, baik pemerintah maupun swasta tidak secepat
peningkatan jumlah penduduk. Terjadinya ketimpangan antara laju permintaan
lapangan kerja dengan laju penawaran lapangan kerja mengakibatkan semakin
meningkatnya jumlah pengangguran.
Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang
yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua
hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan
yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau
para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang
mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian
karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat
akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan
dan masalah-masalah sosial
lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung
dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang
dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus
mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat
kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat
menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya.
Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik
keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per
kapita suatu negara.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia,
dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang
semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih
banyak orang
Jumlah
penduduk yang besar pada dasarnya merupakan potensi yang sangat berharga
ditinjau dari segi tenaga kerja, jika dapat didayagunakan dengan baik, penduduk
yang sangat banyak dan memiliki keterampilan ini merupakan potensi yang
berharga. Jumlah penduduk
yang besar dan tidak memiliki keterampilan ini adalah kerugiannya yang dapat
menyebabkan pengangguran di mana-mana.
Hal yang
diharapkan kesempatan seimbang dengan angkatan kerja tetapi hal ini tidak
terwujud. Beberapa teori tentang “Dapatkah kesempatan kerja menampung seluruh
angkatan kerja?”.
1.
Menurut
kaum klasik, jika terjadi pengangguran dalam suatu negara, itu berarti
penawaran tenaga kerja lebih besar daripada permintaan tenaga kerja.
2.
Menurut Keynes, penggunaan tenaga kerja secara penuh jarang
sekali terjadi
1.1.7 Klasifikasi dan Jenis Pengangguran
a. Pengganguran berdasarkan jam
kerja
Berdasarkan jam kerja, pengangguran dikelompokkan
menjadi 3 macam:
- Pengangguran Terselubung (Disguised Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena suatu alasan tertentu.
- Setengah Menganggur (Under Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada lapangan pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah menganggur ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.
- Pengangguran Terbuka (Open Unemployment) adalah tenaga kerja yang sungguh-sungguh tidak mempunyai pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal. Pengangguran terbuka adalah seseorang yang termasuk kelompok penduduk usia kerja yang tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan.
b. Pengangguran berdasarkan penyebab terjadinya
Berdasarkan
penyebab terjadinya, pengangguran dikelompokkan menjadi 7 macam:
1.
Pengangguran friksional (frictional unemployment)
Pengangguran
friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya
kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan
pembuka lamaran pekerjaan.
2.
Pengangguran Struktural (Structural unemployment)
Pengangguran struktural adalah keadaan di mana penganggur yang
mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan
pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan
meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang
lebih baik dari sebelumnya
3.
Pengangguran Teknologi (Technology unemployment)
Pengangguran yang disebabkan perkembangan/pergantian teknologi.
Perubahan ini dapat menyebabkan pekerja harus diganti untuk bisa menggunakan
teknologi yang diterapkan.
4.
Pengangguran Siklikal
Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat
imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah
daripada penawaran kerja.Pengangguran
Musiman. Pengangguran akibat siklus ekonomi yang berfluktuasi karena
pergantian musim. Umumnya pada bidang pertanian. Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena
adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus
nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, tukang jualan duren yang
menanti musim durian.
5.
Setengah Menganggur
Setengah Menganggur adalah dimana keadaan pekerja
yang memiliki jam kerja dibawah batas normal ( 8 jam kerja/ hari ) yaitu oramg
yang bekerja antara 17-35 jam/ Minggu. Setengah Penganggur adalah orang yang bekerja kurang dari 35 jam per
minggu yang masih mencari pekerjaan atau yang masih bersedia menerima pekerjaan
lain. Setengah pengangguran yang dimaksudkan defenisi itu disebut sebagai
setengah pengangguran terpaksa. Sedangkan orang yang bekerja dibawah 35 jam per
minggu namun tidak mencari pekerjaan dan tidak bersedia menerima pekerjaan lain
dikelompokkan sebagai setengah pengangguran sukarela. Tingkat pengangguran = Tingkat pengangguran terbuka (
Pengangguran terbuka dibagi Angkatan kerja dikali 100) + Tingkat pengangguran setengah pengangguran terpaksa
Konsep ini dibagi dalam
:
a.
Setengah menganggur
yang kentara Setengah menganggur yang kentara (visible underemployment) adalah
jika seseorang bekerja tidak tetap (part time) di luar keinginannya sendiri,
atau bekerja dalam waktu yang lebih pendek dari biasanya.
b.
Setengah menganggur
yang tidak kentara Setengah menganggur yang tidak kentara (invisible
underemployment) adalah jika seseorang bekerja secara penuh (full time) tetapi
pekerjannya itu dianggap tidak mencukupi karena pendapatannya terlalu rendah
atau pekerjaan tersebut tidak memungkinkan ia untuk mengembangkan seluruh
keahliannya
6.
Pengangguran Tidak Kentara
Pengangguran tak kentara (disguised
unemployment) Misalnya para petani yang bekerja di lading selama sehari penuh,
apdahal pekerjaan itu sebenarnya tidak memerlukan waktu selama sehari penuh.
Menurut
Edgar O. Edward (tahun 1974 ) Pengangguran dibagi kedalam 5 Bentuk :
1. Pengangguran terbuka : baik sukarela
(mereka yang tidak mau bekerja karena mengharapkan pekerjaan yang lebih baik)
maupun secara terpaksa (mereka yang mau bekerja tetapi tidak memperoleh
pekerjaan).
2. Setengah menganggur
(underemployment): yaitu mereka yang bekerja lamanya (hari, minggu, musiman)
kurang dari yang mereka biasa kerjakan. Tampaknya bekerja tetapi tidak bekerja
secara penuh: yaitu mereka yang tidak digolongkan sebagai pengangguran terbuka
dan setengah pengangguran, termasuk di sini adalah:
a. Pengangguran tak
kentara (disguised unemployment) Misalnya para petani yang bekerja di lading
selama sehari penuh, apdahal pekerjaan itu sebenarnya tidak memerlukan waktu
selama sehari penuh.
b.
Pengangguran tersembunyi (hidden unemployment) Misalnya oaring yang bekerja
tidak Sesuai dengan tingkat atau jenis pendidikannya.
c. Pensiun lebih awal
Fenomena ini merupakan kenyataan yang terus berkembang di
kalngan pegawai pemerintah. Di beberapa negara, usia pensiun dipermuda sebagai
alat menciptakan peluang bagi yang muda untuk menduduki jabatan di atasnya.
4.
Tenaga kerja yang lemah
(impaired): yaitu mereka yang mungkin bekerja full time, tetapi intensitasnya
lemah karena kurang gizi atau penyakitan.
5. Tenaga
kerja yang tidak produktif : yaitu mereka yang mampu untuk bekerja secara
produktif tetapi karena sumber daya-sumber daya penolong kurang memadai maka
mereka tidak bisa menghasilkan sesuatu dengan baik.
1.1.7
Kesempatan Kerja
Kesempatan
kerja adalah kebutuhan tenaga
kerja yang kemudian secara riil diperlukan oleh perusahaan atau lembaga
penerima kerja pada tingkat upah, posisi dan syarat kerja tertentu, yang
diinformasikan melalui iklan dan lain lain.
Kesempatan
kerja adalah suatu keadaan yang menggambarkan ketersediaan pekerjaan untuk
diisi oleh para pencari kerja. Namun
bisa diartikan juga sebagai permintaan atas tenaga kerja.
Kesempatan
kerja secara umum diartikan sebagai suatu keadaan yang mencerminkan jumlah dari
total angkatan kerja yang dapat diserap atau ikut secara aktif dalam kegiatan
perekonomian. Kesempatan kerja adalah penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja atau
disebut pula pekerja. Bekerja yang dimaksud disini adalah paling sedikit satu
jam secara terus menerus selama seminggu yang lalu
Esmara (1986 : 134), kesempatan kerja dapat diartikan sebagai jumlah
penduduk yang bekerja atau orang yang sudah memperoleh pekerjaan; semakin
banyak orang yang bekerja semakin luas kesempatan kerja.
Sagir (1994 : 52), memberi pengertian kesempatan kerja sebagai lapangan usaha
atau kesempatan kerja yang tersedia untuk bekerja akibat dari suatu kegiatan
ekonomi, dengan demikian kesempatan kerja mencakup lapangan pekerjaan yang
sudah diisi dan kesempatan kerja juga dapat diartikan sebagai partisipasi dalam
pembangunan. Sedangkan Sukirno (2000 : 68), memberikan pengertian kesempatan kerja
sebagai suatu keadaan dimana semua pekerja yang ingin bekerja pada suatu
tingkat upah tertentu akan dengan mudah mendapat pekerjaan.
Swasono dan Sulistyaningsih (1993), memberi pengertian kesempatan kerja adalah
termasuk lapangan pekerjaan yang sudah diduduki (employment) dan masih lowong
(vacancy). Dari lapangan pekerjaan yang masih lowong tersebut timbul
kemudian kebutuhan tenaga kerja yang datang misalnya dari perusahaan swasta
atau BUMN dan departemen-departemen pemerintah. Adanya kebutuhan tersebut
berarti ada kesempatan kerja bagi orang yang menganggur. Dengan demikian kesempatan kerja
(employment) yaitu kesempatan kerja yang sudah diduduki.
Dari definisi di atas, maka kesempatan kerja apat dibedakan
menjadi dua golongan yaitu
1. Kesempatan kerja
permanen yaitu kesempatan kerja yang memungkinkan orang bekerja secara
terus-menerus sampai mereka pensiun atau tidak mampu lagi untuk bekerja.
Misalnya adalah orang yang bekerja pada instansi pemerintah atau swasta yang memiliki
jaminan sosial hingga hari tua dan tidak bekerja ditempat lain.
2. Kesempatan kerja
temporer yaitu kesempatan kerja yang memungkinkan seseorang bekerja dalam waktu
yang relatif singkat, kemudian menganggur untuk menunggu kesempatan kerja baru.
Misalnya adalah orang yang bekerja sebagai pegawai lepas pada perusahaan swata
dimana pekerja mereka tergantung order.
BAB II
TEORI
KETENAGAKERJAAN
2.1 Teori Ketenagakerjaan
2.1.1 Teori
Klasik Adam Smith
Adam
smith (1729-1790) merupakan tokoh utama dari aliran ekonomi yang kemudian
dikenal sebagai aliran klasik. Dalam hal ini teori klasik Adam Smith juga
melihat bahwa alokasi sumber daya manusia yang efektif adalah pemula
pertumbuhan ekonomi. Setelah ekonomi tumbuh, akumulasi modal (fisik) baru mulai
dibutuhkan untuk menjaga agar ekonomi tumbuh. Dengan kata lain, alokasi sumber
daya manusia yang efektif merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi.
2.1.2.
Teori Malthus
Sesudah
Adam Smith, Thomas Robert Malthus (1766-1834) dianggap sebagai pemikir klasik
yang sangat berjasa dalam pengembangan pemikiran-pemikiran ekonomi. Thomas
Robert Malthus mengungkapkan bahwa manusia berkembang jauh lebih cepat
dibandingkan dengan produksi hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Manusia berkembang sesuai dengan deret ukur, sedangkan produksi makanan hanya
meningkat sesuai dengan deret hitung.
Malthus
juga berpendapat bahwa jumlah penduduk yang tinggi pasti mengakibatkan turunnya
produksi perkepala dan satu-satunya cara untuk menghindari hal tersebut adalah
melakukan kontrol atau pengawasan pertumbuhan penduduk. Beberapa jalan keluar
yang ditawarkan oleh malthus adalah dengan menunda usia perkawinan dan
mengurangi jumlah anak. Jika hal ini tidak dilakukan maka pengurangan penduduk
akan diselesaikan secara alamiah antara lain akan timbul perang, epidemi,
kekurangan pangan dan sebagainya.
2.1.3.
Teori Keynes
John
Maynard Keynes (1883-1946) berpendapat bahwa dalam kenyataan pasar tenaga kerja
tidak bekerja sesuai dengan pandangan klasik. Dimanapun para pekerja mempunyai
semacam serikat kerja (labor union)
yang akan berusaha memperjuangkan kepentingan buruh dari penurunan tingkat
upah.
Kalaupun
tingkat upah diturunkan tetapi kemungkinan ini dinilai keynes kecil sekali,
tingkat pendapatan masyarakat tentu akan turun. Turunnya pendapatan sebagian
anggota masyarakat akan menyebabkan turunnya daya beli masyarakat, yang pada
gilirannya akan menyebabkan konsumsi secara keseluruhan berkurang. Berkurangnya
daya beli masyarakat akan mendorong turunya harga-harga.
Kalau
harga-harga turun, maka kurva nilai produktivitas marjinal labor ( marginal value of productivity of labor)
yang dijadikan sebagai patokan oleh pengusaha dalam mempekerjakan labor akan
turun. Jika penurunan harga tidak begitu besar maka kurva nilai produktivitas
hanya turun sedikit. Meskipun demikian jumlah tenaga kerja yang bertambah tetap
saja lebih kecil dari jumlah tenaga kerja yang ditawarkan. Lebih parah lagi
kalau harga-harga turun drastis, ini menyebabkan kurva nilai produktivitas
marjinal labor turun drastis pula, dan jumlah tenaga kerja yang tertampung
menjadi semakin kecil dan pengangguran menjadi semakin luas.
2.1.4.
Teori Harrod-domar
Teori Harod-domar (1946) dikenal sebagai
teori pertumbuhan. Menurut teori ini investasi tidak hanya menciptakan
permintaan, tapi juga memperbesar kapasitas produksi. Kapasitas produksi yang
membesar membutuhkan permintaan yang lebih besar pula agar produksi tidak
menurun. Jika kapasitas yang membesar tidak diikuti dengan permintaan yang
besar, surplus akan muncul dan disusul penurunan jumlah produksi.
2.2.
Teori Tentang Tenaga Kerja
Salah
satu masalah yang biasa muncul dalam bidang angkatan kerja seperti yang sudah
dibukakan dalam Latar belakang dari pemelihan judul ini adalah ketidak
seimbangan akan permintaan tenaga kerja (demand for labor) dan penawaran tenaga
kerja (supply of labor), pada suatu tingkat upah. Ketidakseimbangan tersebut
penawaran yang lebih besar dari permintaan terhadap tenaga kerja (excess supply
of labor) atau lebih besarnya permintaan dibanding penawaran tenaga kerja
(excess demand for labor) dalam pasar tenaga kerja.
Gambar 2.1 : Kurva Penawaran Tenaga Kerja
Gambar 2.2 : Kurva Excess supply of labour
Gambar 2.3 : Kurva Excess Demand of labour
Keterangan
Gambar :
SL
= Penawaran tenaga kerja (supply of labor)
DL
= Permintaan tenaga kerja (demand for labor)
W
= Upah (wage)
L
= Jumlah tenaga kerja (labor)
Penjelasan
gambar:
(1).
Jumlah orang yang menawarkan tenaganya untuk bekerja adalah sama dengan jumlah
tenaga kerja yang diminta, yaitu masing-masing sebesar Le pada tingkat upah
keseimbangan We. Dengan demikian, Titik keseimbangan adalah titik E. Pada tingkat
upah keseimbangan We, semua orang yang ingin bekerja telah dapat bekerja.
Berarti tidak orang yang menganggur. Secara ideal keadaan ini disebut full
employment pada tingkat upah We.
(2).
Pada gambar kedua, terlihat adanya excess supply of labor. Pada tingkat upah
W1, penawaran tenaga kerja (SL) lebih besar daripada permintaan tenaga kerja
(DL). Jumlah orang yang menawarkan dirinya untuk bekerja adalah sebanyak N2,
sedangkan yang diminta hanya N1. Dengan demikian, ada orang yang menganggur
pada tingkat upah W1 sebanyak N1N2.
(3).
Pada gambar ketiga, terlihat adanya excess demand for labor. Pada tingkat upah
W1, permintaan akan tenaga kerja (DL) lebih besar daripada penawaran tenaga
kerja (SL). Jumlah orang yang menawarkan dirinya untuk bekerja pada tingkat
upah W1 adalah sebanyak N1, sedangkan yang diminta adalah sebanyak N2.
BAB III HUBUNGAN INDUSTRIAL
3.1 Pengertian Hubungan Industrial
Menurut Payaman J. Simanjuntak (2009), Hubungan industial adalah
Hubungan semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi
barang atau jasa di suatu perusahaan. Pihak yang berkepentingan dalam setiap
perusahaan (Stakeholders):
- Pengusaha atau pemegang saham yang sehari-hari diwakili oleh pihak manajemen
- Para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
- Supplier atau perusahaan pemasok
- Konsumen atau para pengguna produk/jasa
- Perusahaan Pengguna
- Masyarakat sekitar
- Pemerintah
Disamping para stakeholders tersebut, para pelaku hubungan
industrial juga melibatkan:
- Para konsultan hubungan industrial dan/atau pengacara
- Para Arbitrator, konsiliator, mediator, dan akademisi
- Hakim-Hakim Pengadilan hubungan industrial
Abdul
Khakim (2009) menjelaskan, istilah hubungan industrial merupakan terjemahan
dari "labour relation" atau hubungan perburuhan. Istilah ini pada
awalnya menganggap bahwa hubungan perburuhan hanya membahas masalah-masalah
hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha. Seiring dengan perkembangan dan
kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa masalah hubungan kerja antara pekerja/buruh
dan pengusaha ternyata juga menyangkut aspek-aspek lain yang luas. Dengan
demikian, Abdul Khakim (2009) menyatakan hubungan perburuhan tidaklah terbatas
hanya pada hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha, tetapi perlu adanya
campur tangan pemerintah.
3.2 Prinsip-Prinsip Hubungan Industrial
Payaman J. Simanjuntak (2009) menjelaskan beberapa prinsip dari
Hubungan industrial, yaitu :
- Kepentingan Bersama: Pengusaha, pekerja/buruh, masyarakat, dan pemerintah
- Kemitraan yang saling menguntungan: Pekerja/buruh dan pengusaha sebagai mitra yang saling tergantung dan membutuhkan
- Hubungan fungsional dan pembagian tugas
- Kekeluargaan
- Penciptaan ketenangan berusaha dan ketentraman bekerja
- Peningkatan produktivitas
- Peningkatan kesejahteraan bersama
3.3 Sarana Pendukung Hubungan Industrial
Payaman J.
Simanjuntak (2009) menyebutkan sarana-sarana pendukung Hubungan industrial,
sebagai berikut :
- Serikat Pekerja/Buruh
- Organisasi Pengusaha
- Lembaga Kerjasama bipartit (LKS Bipartit)
- Lembaga Kerjasama tripartit (LKS Tripartit
- Peraturan Perusahaan
- Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
- Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaaan
- Lembaga penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial
3.4 Perundingan Kerja Bersama (PKB)
Perjanjian Kerja Bersama atau disingkat PKB merupakan pijakan
karyawan dalam menorehkan prestasi yang pada gilirannya akan berujung kepada
kinerja korporat dan kesejahteraan karyawan. Jadi, PKB memang penting bagi
perusahaan manapun. Hubungan kerja senantiasa terjadi di masyarakat, baik
secara formal maupun informal, dan semakin intensif didalam masyarakat modern.
Di dalam hubungan kerja memiliki potensi timbulnya perbedaan pendapat atau
bahkan konflik. Untuk mencegah timbulnya akibat yang lebih buruk, maka perlu
adanya pengaturan di dalam hubungan kerja ini dalam bentuk PKB. Dalam
prakteknya, persyaratan kerja diatur dalam bentuk perjanjian kerja yang
sifatnya perorangan.
Perjanjian kerja Bersama ini dibuat atas persetujuan pemberi kerja
dan Karyawan yang bersifat individual. Pengaturan persyaratan kerja yang
bersifat kolektif dapat dalam bentuk Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian
Kerja Bersama (PKB).Perjanjian Kerja Bersama atau PKB sebelumnya dikenal juga
dengan istilah KKB (Kesepakatan Kerja Bersama) / CLA (Collective Labour
Agreement) adalah merupakan perjanjian yang berisikan sekumpulan syarat-syarat
kerja, hak dan kewajiban para pihak yang merupakan hasil perundingan antara
Pengusaha, dalam hal ini diwakili oleh Managemen Perusahaan dan Karyawan yang
dalam hal ini diwakili oleh Serikat Karyawan, serta tercatat pada instansi yang
bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Hal ini juga tertuang dalam Pasal 1
UU No.13 tahun 2003 Point 21.PKB dibuat dengan melalui perundingan antara
managemen dan serikat karyawan.
Kesemua itu untuk menjamin adanya kepastian dan perlindungan di
dalam hubungan kerja, sehingga dapat tercipta ketenangan kerja dan berusaha.
Lebih dari itu, dengan partisipasi ini juga merupakan cara untuk bersama-sama
memperkirakan dan menetapkan nasib perusahaan untuk masa depan.Masa berlakunya
PKB paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang masa berlakunya paling
lama 1 (satu) tahun. PKB juga merupakan suatu instrumen yang digunakan untuk
untuk menjalankan hubungan industrial, dimana sarana yang lain adalah serikat
karyawan, organisasi pengusaha, lembaga kerjasama bipartit, lembaga kerjasama
tripartit, peraturan perusahaan, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan,
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Menurut ketentuan, Perundingan pembuatan PKB berikutnya dapat
dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya PKB yang sedang
berlaku. Dalam hal perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka PKB yang sedang
berlaku tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun. Sehingga dengan
demikian proses pembuatan PKB tidak memakan waktu lama dan berlarut-larut
sampai terjadi kebuntuan (dead lock) yang mengakibatkan tidak adanya kepastian
hukum.
BAB IV
SISTEM PENGUPAHAN
4.1 Pendahuluan
Upah adalah segala macam pembayaran yang timbul dari
kontrak kerja, terlepas dari jenis pekerjaan dan denominasinya. Upah
menunjukkan penghasilan yang diterima oleh pekerja sebagai imbalan atas
pekerjaan yang dilakukannya. Upah dapat diberikan baik dalam bentuk tunai atau
natura, atau dalam bentuk tunai natura. Sistem pengupahan merupakan kerangka
bagaimana upah diatur dan ditetapkan. Sistem pengupahan di Indonesia pada
umumnya didasarkan kepada tingkat fungsi upah, yaitu menjamin kehidupan yang
layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja
seseorang dan menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas
kerja.
Penghasilan yang di terima karyawan digolongkan ke
dalam empat bentuk yaitu upah atau gaji, tunjangan dalam bentuk natura (seperti
beras, gula dan pakaian), fringe benefits (dalam bentuk dana yang disisihkan
pengusaha untuk pensiun, asuransi kesehatan, kendaraan dinas, makan siang) dan
kondisi lingkungan kerja. Sistem penggajian di Indonesia pada umumnya mempergunakan
gaji pokok yang didasarkan pada kepangkatan dan masa kerja. Pangkat seseorang umumnya didasarkan pada tingkat
pendidikan dan pengalaman kerja. Dengan kata lain, penentuan gaji pokok pada
umumnya didasarkan pada prinsip-prinsip teori human capital, yaitu bahwa upah
atau gaji seseorang diberikan sebanding dengan tingkat pendidikan dan latihan
yang dicapainya. Di samping gaji pokok, pekerja menerima juga berbagai macam
tunjangan, masing-masing sebagai persentase dari gaji pokok atau jumlah
tertentu seperti tunjangan jabatan, tunjangan keluarga dan lain-lain. Jumlah
gaji dan tunjangan-tunjangan tersebut dinamakan gaji kotor. Gaji bersih yang
diterima adalah gaji kotor yang dikurangi potongan-potongan seperti potongan
untuk dana pensiun, asuransi kesehatan dan lain sebagainya. Jumlah
gaji bersih ini disebut dengan take home pay.
4.2 Perbedaan Tingkat Upah
Perbedaan tingkat upah terletak dari satu sektor ke
sektor industri lainnya maupun antar daerah. Perbedaan ini pada dasarnya
disebabkan oleh satu atau lebih dari sembilan alasan dibawah ini. Perbedaan
tingkat upah tersebut terjadi karena :
Pertama, karena pada
dasarnya pasar kerja itu sendiri, terdiri dari beberapa pasar kerja yang
berbeda dan terpisah satu sama lain. Disatu pihak, pekerjaan yang berbeda
memerlukan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang berbeda. Produktivitas kerja
seeorang berbeda menurut pendidikan dan latihan yang diperolehnya. Perbedaan
tingkat upah dapat terjadi karena perbedaan tingkat pendidikan, latihan dan
pengalaman.
Kedua,
tingkat upah di tiap perusahaan berbeda menurut persentase biaya pekerja
terhadap seluruh biaya produksi. Semakin kecil proporsi biaya pekerja terhadap
biaya keseluruhan, semakin tinggi tingkat upah. Misalnya pada
perusahaan-perusahaan yang padat modal seperti perusahaan minyak, pertambangan,
industri berat.
Ketiga, perbedaan tingkat upah antara beberapa perusahaan
dapat pula terjadi menurut perbedaan proporsi keuntungan perusahaan terhadap
penjualannya. Semakin besar proporsi keuntungan terhadap penjualan dan semakin
besar jumlah absolute keuntungan, semakin tinggi nilai upah.
Keempat, perbedaan tingkat upah antar perusahaan dapat
berbeda karena perbedaan peranan pengusaha yang bersangkutan dalam menentukan
harga. Perusahaan-perusahaan monopoli dapat menaikkan harga tanpa takut akan
kompetisi. Pengusaha-pengusaha oligopoli lebih mudah untuk bersama-sama
berunding menentukan harga, sehingga tidak perlu berkompetisi satu sama lain.
Dalam perusahaan-perusahaan tersebut lebih mudah untuk menimpakan kenaikan upah
kepada harga jual barang.
Kelima, tingkat upah dapat berbeda menurut besar kecilnya
perusahaan. Perusahaan yang besar dapat memperoleh kemanfaatan “economic of
scale” dan oleh sebab itu dapat menurunkan harga, sehingga mendominasi pasar.
Dengan demikian perusahaan yang besar cenderung lebih mampu memberikan tingkat
upah yang tingggi daripada perusahaan kecil.
Keenam, tingkat upah dapat berbeda menurut tingkat
efisiensi dan manajemen perusahaan. Semakin efektif manajemen perusahaan,
semakin efisien cara-cara penggunaan faktor produksi, dan semakin besar upah
yang dapat dibayarkan kepada para pekerja.
Ketujuh, perbedaan kemampuan atau kekuatan serikat
pekerja dapat mengakibatkan perbedaan tingkat upah. Serikat pekerja yang kuat
dalam arti mengemukakan alasan-alasan yang wajar biasanya cukup berhasil dalam
mengusahakan kenaikan upah.
Kedelapan, tingkat upah dapat pula berbeda karena faktor
kelangkaan. Semakin langka tenaga kerja dengan ketrampilan tertentu, semakin
tinggi upah yang ditawarkan pengusaha.
Kesembilan, tingkat upah dapat berbeda sehubungan dengan
besar kecilnya resiko atau kemungkinan mendapat kecelakaan di lingkungan
pekerjaan. Semakin tinggi mendapat resiko, semakin tinggi tingkat upah. Dan
yang terakhir, perbedaan tingkat upah dapat terjadi karena pemerintah campur
tangan seperti dalam menentukan upah minimum yang berbeda.
4.3
Masalah Pengupahan
Masalah pertama yang timbul dalam bidang pengupahan dan
karyawan pada umumnya pengertian dan kepentingan yang berbeda mengenai upah.
Bagi pengusaha, upah dapat dipandang menjadi beban karena semakin besar upah
yang dibayarkan pada pekerja, semakin kecil proporsi keuntungan bagi pengusaha.
Segala sesuatu yang dikeluarkan oleh pengusaha sehubungan dengan mempekerjakan
seseorang dipandang sebagai komponen upah. Dilain pihak, karyawan dan
keluarganya biasanya menganggap upah hanya sebagai apa yang diterimanya dalam
bentuk uang (take home pay). Kenyataan menunjukkan bahwa hanya sedikit
pengusaha yang secara sadar dan sukarela berusaha meningkatkan penghidupan
karyawannya. Dilain pihak, karyawan melalui Serikat pekerja dengan mengundang
campur tangan pemerintah selalu menuntut kenaikan upah dan perbaikan fringe
benefit. Jika tuntunan seperti itu tidak disertai dengan peningkatan
produktivitas kerja akan mendorong pengusaha akan mengurangi penggunaan tenaga
kerja dengan menurunkan produksi, menggunakan teknologi yang lebih padat modal
atau mendorong harga jual barang yang kemudian mendorong inflasi.
Masalah kedua
di bidang pengupahan berhubungan dengan keanekaragaman sistem pengupahan.
Proporsi sebagian upah dalam bentuk natura dan fringe benefit cukup besar, dan
besarnya tidak seragam antara perusahaan-perusahaan. Sehingga kesulitan sering
diketemukan dalam perumusan kebijakan nasional, misalnya dalam hal menentukan
pajak pendapatan, upah minimum, upah lembur dan lain-lain.
Masalah ketiga
yang dihadapi dalam bidang pengupahan adalah rendahnya tingkat upah atau
pendapatan masyarakat. Rendahnya tingkat upah ini disebabkan karena tingkat
kemampuan manajemen yang rendah sehingga menimbulkan berbagai macam pemborosan
dana, sumber-sumber dan waktu. Selain itu, penyebab rendahnya tingkat upah
karena rendahnya produktivitas kerja. Produktivitas kerja karyawan rendah,
sehingga pengusaha memberikan imbalan dalam bentuk yang rendah juga.
4. 4 Karakteristisk Upah
4. 4. 1 Upah per satuan (piece rates) dan upah per
jam (time rates)
Saudara mahasiswa, kita akan membahas karakteristik
kontrak kerja antara pekerja dan perusahaan berupa penetapan upah per satuan
(piece rates) dan upah per jam (time rates). Masalah yang muncul pada kontrak kerja kerja akan
mempengaruhi produktivitas tenaga kerja dan tingkat keuntungan perusahaan.
Jenis kontrak kerja yang dipilih sangat penting karena pemberi kerja sering
tidak tahu produktivitas pekerja yang sebenarnya, sementara pekerja menginginkan
upah yang besar dengan kerja yang sekecil mungkin.
Sistem upah per satuan mengkompensasi pekerja berdasarkan
pada output yang dihasilkan oleh pekerja. Sebagai contoh pekerja garmen
dibayarkan berdasarkan pada seberapa banyak jumlah celana yang dihasilkan, para
tenaga penjual dibayar sesuai dengan besarnya komisi tertentu dari volume
penjualannya. Sedangkan kompensasi upah pekerja per jam sangat bergantung
kepada jumlah jam kerja yang dialokasikan pekerja dalam pekerjaannya dan tidak
berhubungan sama sekali dengan jumlah output yang dihasilkan pekerja.
Perusahaan yang memiliki biaya pengawasan yang tinggi jika memberikan tingkat
upah per satuan yang kecil kepada pekerja maka hanya sedikit pekerja yang mau
menerima upah yang demikian sedikitnya (low take home salaries). Sehingga
perusahaan yang menghadapi biaya pengawasan yang tinggi lebih memilih upah per
jam (berdasarkan waktu), sementara perusahaan yang menghadapi biaya pengawasan
yang rendah memilih tingkat upah per satuan. Oleh karenanya, upah per satuan
sering dipakai untuk membayar pekerja yang outputnya dapat diamati dengan mudah
misalkan jumlah celana yang diproduksi, volume penjualan pada periode yang
lalu, semetara upah per jam ditawarkan bagi para pekerja yang outputnya sulit
untuk diukur seperti upah bagi para professor di Universitas atau para pekerja
pada tim produksi software.
4.4.2
Keuntungan dan keburukan dari penerapan sistem pembayaran per satuan (piece
rate)
Pembayaran per satuan mampu menarik pekerja dengan
kemampuan besar, sistem pembayaran langsung berhubungan dengan kinerja,
meminimalkan hal-hal yang bersifat diskriminasi dan nepotisme dan meningkatkan
produktivitas perusahaan. Disamping keuntungan, terdapat keburukan dari system
kompensasi piece rate yaitu ada
kemungkinan diantara anggota tim di lini produksi akan mengalami free rider dari kerja yang dihasilkan
anggota yang lain, jika produktivitas dalam satu lini produksi sangat
bergantung produktivitas pada lini produksi yang lain yang dihitung berdasarkan
pada output tim. Selain itu sistem penggajian dengan piece rate, pekerja lebih suka mengabaikan kualitas ketimbang
kuantitas. Banyak pekerja yang tidak menyukai system piece rate karena upah mereka sangat fluktuatif sepanjang waktu.
Sebagai contoh, penerimaan harian pemetik buah stroberi sangat bergantung pada
kondisi cuaca. Yang terakhir, pekerja pada perusahaan yang menggaji dengan piece rate mengalami kegelisahan jika
terjadi ”ratchet effect”
Misalkan ada pekerja yang menghasilkan output lebih besar dibandingkan dengan
perkiraan perusahaan. Manajer perusahaan mungkin akan mengira tingkat output
yang tinggi yang dihasilkan pekerja merupakan pekerjaan yang tidak terlalu
sulit untuk dilakukan dan perusahaan merasa telah membayar pekerja terlalu mahal.
Pada periode selanjutnya, tingkat upah piece
rate direndahkan dan pekerja harus bekerja lebih keras lagi untuk mengkompensasinya lagi.
4.4.4
Kebijakan Penentuan Upah
Kriteria yang paling umum digunakan dalam menentukan
tingkat upah yaitu berdasarkan ukuran kesetaraan berupa pembayaran yang sama
bagi pekerjaan yang sama, ukuran kebutuhan berupa biaya hidup, upah untuk hidup
dan daya beli, kemudian ukuran kontribusi berupa kemampuan membayar perusahaan
dan produktivitas yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Saat ini yang berlaku
adalah Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan di masing – masing daerah.
4.5
Upah Minimum
Kebijakan penetapan upah minimum dalam kerangka
perlindungan upah dewasa ini masih menemui banyak kendala sebagai akibat belum
terwujudnya satu keseragaman upah, baik secara regional/wilayah-propinsi atau
kabupaten/kota, dan sektor wilayah propinsi atau kabupaten/kota, maupun secara
nasional. Dalam menetapkan kebijakan pengupahan memang perlu diupayakan secara
sistematis, baik ditinjau dari segi makro maupun segi mikro seirama dengan
upaya pembangunan ketenagakerjaan, utamanya perluasan kesempatan kerja, peningkatan
produksi, peningkatan taraf hidup pekerja sesuai dengan kebutuhan hidup
minimalnya.
Dalam penetapan upah minimum ini masih terjadi perbedaan-perbedaaan yang didasarkan pada tingkat kemampuan, sifat dan jenis pekerjaan di masing-masing perusahaan yang kondisinya berbeda-beda, masing-masing wilayah/daerah yang tidak sama. Oleh karena itu, upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten/kota dan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota. Kebijakan ini selangkah lebih maju dari sebelumnya yang ditetapkan berdasarkan sub-sektoral, sektoral, sub-regional, dan regional.
Dalam penetapan upah minimum ini masih terjadi perbedaan-perbedaaan yang didasarkan pada tingkat kemampuan, sifat dan jenis pekerjaan di masing-masing perusahaan yang kondisinya berbeda-beda, masing-masing wilayah/daerah yang tidak sama. Oleh karena itu, upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten/kota dan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota. Kebijakan ini selangkah lebih maju dari sebelumnya yang ditetapkan berdasarkan sub-sektoral, sektoral, sub-regional, dan regional.
Dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan telah ditetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup
layak, dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi meliputi : a.
upah minimum berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten/kota; b. upah minimum
berdasarkan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota.
Upah minimum tersebut ditetapkan oleh Gubernur untuk
wilayah propinsi, dan oleh Bupati/Walikota untuk wilayah Kabupaten/Kota, dengan
memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Propinsi atau Bupati/Walikota.
Dalam hal ini pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah
minimum yang telah ditetapkan untuk masing-masing wilayah propinsi dan/atau
kabupaten/kota. Bagi pengusaha yang karena sesuatu hal tidak atau belum mampu
menbayar upah minimum yang telah ditetapkan dapat dilakukan penangguhan selama
batas jangka waktu tertentu. Dalam hal upah minimum ditetapkan atas kesepakatan
antara pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja, tidak boleh lebih rendah
dari ketentuan pengupahan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Apabila kesepakatan dimaksud lebih rendah dan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka kesepakatan tersebut batal demi
hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam penetapan upah tersebut tidak boleh ada
diskriminasi antara pekerja laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama
nilainya sebagaimana dimaksud dalam Konvensi 100 yang diratifikasi berdasarkan
Undang-Undang No. 80 tahun 1957 (Lembaran Negara No.171 tahun 1957).
4.5.1 Keseragaman Pengupahan
Dengan adanya sistem penetapan upah minimum berdasarkan
wilayah propinsi atau wilayah kabupaten/kota, dan sector pada wilayah propinsi
atau kabupaten/kota, berarti masih belum ada keseragaman upah disemua
perusahaan dan wilayah/daerah.
Hal ini dapat dipahami mengingat kondisi dan sifat perusahaan disetiap sector wilayah/daerah tidak sama dan belum bisa disamakan. Demikian juga kebutuhan hidup minimum seseorang pekerja sangat tergantung pada situasi dan kondisi wilayah/daerah dimana perusahaan tempat bekerja itu berada. Belum ada keseragaman upah tersebut justru masih didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan demi kelangsungan hidup perusahaan dan pekerja yang bersangkutan. Apabila bila mengingat strategi kebutuhan pokok terhadap pekerja yang berada pada sector informal didaerah perkotaan yang pada umumnya masih mempunyai penghasilan dibawah suatu taraf hidup tertentu.
Hal ini dapat dipahami mengingat kondisi dan sifat perusahaan disetiap sector wilayah/daerah tidak sama dan belum bisa disamakan. Demikian juga kebutuhan hidup minimum seseorang pekerja sangat tergantung pada situasi dan kondisi wilayah/daerah dimana perusahaan tempat bekerja itu berada. Belum ada keseragaman upah tersebut justru masih didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan demi kelangsungan hidup perusahaan dan pekerja yang bersangkutan. Apabila bila mengingat strategi kebutuhan pokok terhadap pekerja yang berada pada sector informal didaerah perkotaan yang pada umumnya masih mempunyai penghasilan dibawah suatu taraf hidup tertentu.
4.5.2 Kuantitas Tingkat Upah
Seperti diketahui sistem pengupahan yang bersifat beragam
menyebabkan kuantitas tingkat upah khususnya dalam penetapan upah minimum
terjadi perbedaan-perbedaan. Kebijakan sektoral dan regional didasarkan pada
pemilihan wilayah/daerah-daerah berikut sektor-sektor ekonominya yang potensial
serta dengan mempertimbangkan beberapa aspek yang mempengaruhi antara lain :
1. Aspek kondisi perusahaan.
Melalui aspek ini dapat diperoleh kriteria-kriteria
perusahaan kecil, perusahaan menengah, dan perusahaan besar baik didalam satu
sektor atau wilayah/daerah maupun berlainan sektor atau wilayah/daerah.
Kriteria-kriteria tersebut membawa konsekuensi pada kemampuan perusahaan yang
tidak sama dalam memberi upah pekerja. Hal ini sudah tentu tergantung pada
besarnya modal dan kegiatan usaha masing-masing perusahaan dan tingkat
produksi, serta produktivitas tenaga kerjanya.
2. Aspek keterampilan tenaga
kerja.
Peningkatan produksi dan prodiktivitas kerja, sangat
ditentukan oleh kemampuan personil perusahaan, baik ditingkat bawah yakni
tenaga kerja terampil, maupun ditingkat atas yakni pimpinan manajemen yang
mampu menjadi penggerak tenaga kerja (pekerja) yang dipimpinnya untuk bekerja
secara produktif.
Tenaga kerja merupakan modal dasar bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi perusahaan, apabila tenaga kerja tersebut sebagai sumber daya ekonomi dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Tingkat kemampuan tenaga kerja dan pimpinan manajemen dalam suatu perusahaan, memberikan peranan yang menentukan untuk merubah kondisi perusahaan tersebut menjadi lebih baik dan maju. Kondisi seperti ini memberikan dampak positif bagi upaya peningkatan kesejahteraan tenaga kerja (pekerja) melalui pemberian upah yang lebih tinggi, serta jaminan-jaminan sosial lainnya.
Tenaga kerja merupakan modal dasar bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi perusahaan, apabila tenaga kerja tersebut sebagai sumber daya ekonomi dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Tingkat kemampuan tenaga kerja dan pimpinan manajemen dalam suatu perusahaan, memberikan peranan yang menentukan untuk merubah kondisi perusahaan tersebut menjadi lebih baik dan maju. Kondisi seperti ini memberikan dampak positif bagi upaya peningkatan kesejahteraan tenaga kerja (pekerja) melalui pemberian upah yang lebih tinggi, serta jaminan-jaminan sosial lainnya.
3.
Aspek standard hidup.
Peningkatan
tingkat upah pekerja selain dipengaruhi oleh kondisi perusahaan dan
keterampilan tenaga kerjanya, juga dipengaruhi oleh standard hidup pada suatu
wilayah atau daerah dimana perusahaan itu berada. Standard hidup di daerah
perkotaan biasanya lebih tinggi dibanding didaerah pedesaan.
Peningkatan tingkat upah ini selain didasarkan pada kebutuhan pokok (basic needs) tenaga kerja yang bersangkutan sesuai tingkat perkembangan ekonomi dan sosial di wilayah/daerah tertentu. Kebutuhan pokok tersebut tidak hanya terbatas pada persoalan sandang, pangan dan papan, akan tetapi meliputi juga pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan lain sebagainya.
Peningkatan tingkat upah ini selain didasarkan pada kebutuhan pokok (basic needs) tenaga kerja yang bersangkutan sesuai tingkat perkembangan ekonomi dan sosial di wilayah/daerah tertentu. Kebutuhan pokok tersebut tidak hanya terbatas pada persoalan sandang, pangan dan papan, akan tetapi meliputi juga pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan lain sebagainya.
4.
Aspek jenis pekerjaan.
Perbedaan pada jenis pekerjaan ini mengakibatkan
terjadinya perbedaan tingkat upah, baik pada suatu sektor yang sama, maupun
pada sektor yang berlainan. Tingkat upah pada sektor industri, tidak sama
dengan tingkat upah di sektor pertanian, tidak sama pula dengan sektor
perhotelan, dan sebagainya. Tingkat upah pada industri rokok atau pemintalan
benang misalnya, tidak sama dengan tingkat upah pada industri mesin, dan
sebagainya. Aspek jenis pekerjaan mempunyai arti yang khusus, karena
diperolehnya pekerjaan, dapat membantu tercapainya kebutuhan pokok bagi pekerja
yang bersangkutan. Meningkatnya taraf jenis pekerjaan dapat membantu
peningkatan taraf hidup sebagai akibat meningkatnya upah yang diterima pekerja
dari pekerjaannya itu.
4.5.3
Penetapan upah dan tunjangan lainnya melalui perundingan kolektif
Perundingan
kolektif diperlukan perusahaan dalam negosiasi penetapan upah yang melibatkan
serikat pekerja sebagai mitra sejajar dengan pemberi kerja. Peningkatan upah yang dihasilkan melalui
perundingan antara pekerja dan pemberi kerja cenderung berhasil meningkatkan
produktivitas.
4.5.4 Macam Bentuk Kompensasi
Pekerja
Upah merupakan hasil balas jasa yang diterima oleh
pekerja berdasarkan lama waktu yang habiskan untuk menyelesaikan pekerjaan atau
seberapa banyak hasil produksi yang ia hasilkan. Upah merupakan balas jasa yang diberikan kepada para buruh produksi
atau pekerja tidak tetap. Sedangkan Gaji merupakan Kompensasi pekerja yang dihitungn berdasarkan basis
tahunan dan bulanan, atau bahkan mingguan, gaji biasanya diterima oleh pegawai, pegawai tetap suatu perusahaan
baik swasta maupun negeri.
Macam – macam bentuk upah antara lain :
- Upah Berdasarkan Waktu, upah ini dihtung berdasarkan banyaknya waktu/jam yang diberikan pekerja terhadap perusahaan, dapat dihitung berdasar per jam, per minggu, per bulan.
- Upah Berdasarkan Hasil, didasarkan atas hasil yang diperoleh pekerja secara kuantitas/jumlah dalam kurun waktu produksi secara individu maupun team.
- Bonus, merupakan upah tambahan yang diberikan kepada karyawan disamping gaji tetap yang sudah diterima sebagai penghargaan.
- Pembagian Keuntungan
- Upah borongan, Menurut sistem ini pembayaran upah berdasarkan atas kesepakatan bersama antara pemberi dan penerima pekerjaan. Misalnya upah untuk memperbaiki mobil yang rusak, membangun rumah, dll.
- Sistem mitra usaha Dalam sistem ini pembayaran upah sebagian diberikan dalam bentuk saham perusahaan, tetapi saham tersebut tidak diberikan kepada perorangan melainkan pada organisasi pekerja di perusahaan tersebut. Dengan demikian hubungan kerja antara perusahaan dengan pekerja dapat ditingkatkan menjadi hubungan antara perusahaan dan mitra kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. (2000). Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk
2000. Buku I. Jakarta: BPS.
______. (2001). Indikator Ekonomi. Jakarta: BPS.
______. (2002). Indikator Ekonomi. Jakarta: BPS.
______. (2004). Indikator Kesejahteraan Rakyat
(Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004). Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
______. (2005). Penduduk Indonesia Hasil Sensus
Penduduk. Buku I. Jakarta.
______. (2007). Keadaan Angkatan Kerja di
Indonesia. Statistik Indonesia, Jakarta.
Bakir, Zainab dan Manning,Cris. (1984). Angkatan Kerja Indonesia.
Jakarta: Rajawali.
Gujarati, D. (2001). Ekonometrika Dasar. Jakarta:
Erlangga.
Esmara, H (1986), Sumber Daya Manusia, Kesempatan
Kerja Dan Perkembangan Ekonomi. UI Press. Jakarta.
Julana, Ima. (2001). Analisis Tingkat Pengangguran
di Indonesia Akibat Pengaruh Tingkat Pengangguran pada
Periode yang Lalu. Skripsi (tidak
dipublikasikan). FE Unsyiah,
Banda Aceh.
Nanga, Muana. (2005). Makroekonomi: Teori, Masalah dan
Kebijakan. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Raja Grafika Persada.
Sagir, Soeharsono (1985), Kesempatan Kerja,
Ketahanan Nasional Dan Pembangunan
Manusia Seutuhnya,
Alumni Bandung.
Suhartini, S. dan S. Mardianto. 2001. Transfromasi
Struktur Kesempatan Kerja Sektor
Pertanian ke Non
Pertanian di Indonesia. Agro-Ekonomika No.2 Oktober
2001. PERHEPI, Jakarta
Sulistyaningsih, E. 1997. Dampak Perubahan Struktur
Ekonomi pada Struktur
Kebutuhan Kualitas Tenagakerja di Indonesia, 1980-1990; Pendekatan Input-
Output. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Sukirno, Sadono (1981), Pengantar Teori Ekonomi
Modern, Edisi 2, PT. Raja Gravindo
Persada. Jakarta.
_______. (2004). Makro Ekonomi. Edisi Ketiga.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
_______.(2005). Makro Ekonomi Modern. Edisi Ketiga.
Cetakan Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafika
Persada.
Swasono dan Sulistyaningsih (1993), Pengembangan
Sumberdaya Manusia: Konsepsi Makro untuk Pelaksanaan di Indonesia. Izufa
Gempita, Jakarta.