Halaman

Selasa, 12 November 2013

BAHAN AJAR GEOGRAFI KETENAGAKERJAAN



BAB I
KONSEP GEOGRAFI KETENAGAKERJAAN

 Sebelum anda membaca harap anda mendownload terlebih dahulu  UU no. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan 
di--- >  http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCgQFjAA&url=http%3A%2F%2Fptkhi.skkmigas.go.id%2FPTKHI%2Ffiles%2FUU-13-2003-KETENAGAKERJAAN.doc&ei=6hSDUs_gD4GMrgfA4oDwCg&usg=AFQjCNFj3zRZ4-vfYIA8klYKALnsWj9r3g&sig2=SKuqoexhO7zEIYfk2ZlCww&bvm=bv.56343320,d.bmk 

PENDAHULUAN

Tersedianya lapangan/kesempatan kerja baru untuk mengatasi peningkatan penawaran tenaga kerja merupakan salah satu target yang harus dicapai dalam pembangunan ekonomi daerah. Upaya tersebut dapat diwujudkan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi khususnya investasi langsung (direct investment) pada sektor-sektor yang bersifat padat karya, seperti konstruksi, infrastruktur maupun industri pengolahan. Sementara pada sektor jasa, misalnya melalui perdagangan maupun pariwisata. Tenaga kerja adalah orang yang siap masuk dalam pasar kerja sesuai dengan upah yang ditawarkan oleh penyedia pekerjaan. Jumlah tenaga kerja dihitung dari penduduk usia produktif (umur 15 thn–65 thn) yang masuk kategori angkatan kerja (labourforce).
 Kondisi di negara berkembang pada umumnya memiliki tingkat pengangguran yang jauh lebih tinggi dari angka resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena ukuran sektor informal masih cukup besar sebagai salah satu lapangan nafkah bagi tenaga kerja tidak terdidik. Sektor informal tersebut dianggap sebagai katup pengaman bagi pengangguran.
            Angka resmi tingkat pengangguran umumnya menggunakan indikator pengangguran terbuka, yaitu jumlah angkatan kerja yang secara sungguh-sungguh tidak bekerja sama sekali dan sedang mencari kerja pada saat survei dilakukan. Sementara yang setengah pengangguran dan penganggur terselubung tidak dihitung dalam angka pengangguran terbuka, karena mereka masih menggunakan waktu produktifnya selama seminggu untuk bekerja meskipun tidak sampai 35 jam penuh.
            Sumber data ketenagakerjaan seperti instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan yang berada di daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota tidak pernah lagi mau mengirim data dan informasi ke pusat .Kondisi ini telah mempengaruhi keberadaan data dan informasi ketenagakerjaan, yang pada akhirnya data dan informasi ketenagakerjaan yang dipergunakan saat ini masih bertumpu pada data dan informasi ketenagakerjaan yang bersifat makro. Data dan informasi ketenagakerjaan makro tersebut, sampai saat ini belum mampu untuk menjawab berbagai tantangan dan masalah ketenaga-kerjaan yang dihadapi.

1.1. Defenisi, Teori dan Konsep
1.1.1 Tenaga Kerja
Menurut Eeng Ahman dan Epi Indriani, pengertian tenaga kerja adalah jumlah penduduk yang dianggap atau sanggup bekerha bila ada permintaan kerja. Sedangkan menurut Dr. Payman, tenaga kerja adalah produk yang sedang bekerja, Sedang mencari pekerjaan, atau sedang melaksanakan pekerjaan seperti bersekolah atau ibu rumah tangga.
Konsep dan definisi angkatan kerja yang digunakan mengacu kepada The Labor Force Concept yang disarankan oleh International Labor Organization (ILO). Konsep ini membagi penduduk usia kerja (digunakan 15 tahun ke atas) dan penduduk bukan usia kerja (kurang dari 15 tahun).
Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Secara garis besar penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun – 64 tahun. Menurut pengertian ini, setiap orang yang mampu bekerja disebut sebagai tenaga kerja. Ada banyak pendapat mengenai usia dari para tenaga kerja ini, ada yang menyebutkan di atas 17 tahun ada pula yang menyebutkan di atas 20 tahun, bahkan ada yang menyebutkan di atas 7 tahun karena anak-anak jalanan sudah termasuk tenaga kerja.
Tenaga kerja memegang peranan yang sangat penting dalam roda perekonomian suatu negara, karena:
1.      Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi.
2.      Penentu keoptimalan Pemberdayaan Sumber Daya Alam.
3.      Kewiraswastaan/ kemandirian penduduk dalam memenuhi kebutuhannya.
Tenaga kerja juga penting dilihat dari segi kesejahteraan masyarakat. Adapula masalah yang ditimbulkan dari banyaknya tenaga kerja:
1.      Masalah-masalah perluasan kesempatan kerja.
2.      Pendidikan yang dimiliki angkatan kerja.
3.      Pengangguran.
Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang sangat penting bagi setiap negara di samping faktor alam dan faktor modal. Mengapa tenaga kerja disebut sebagai faktor produksi? Karena meskipun suatu negara memiliki sumber daya alamdan modal yang besar ia tetap membutuhkan tenaga kerja sebagai salah satu
faktor produksinya. Contoh, Malaysia yang kaya akan sumber daya alam dan modal
harus mendatangkan tenaga kerja dari Indonesia untuk mengisi
kekurangan tenaga kerja berbagai sektor ekonominya.

1.1.2 Penduduk Usia Kerja
Usia Kerja adalah suatu tingkat umur seseorang yang diharapkan sudah dapat bekerja dan menghasilkan pendapatannya sendiri. Usia kerja ini berkisar antara 14 sampai 55 tahun. Selain penduduk dalam usia kerja, ada juga penduduk di luar usia kerja, yaitu di bawah usia kerja dan di atas usia kerja. Penduduk yang dimaksud yaitu anak-anak usia sekolah dasar dan yang sudah pensiun atau berusia lanjut. Selanjutnya penduduk usia kerja dibagi menjadi dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.

1.1.3 Angkatan Kerja
Angkatan kerja merupakan golongan penduduk laki –laki atau perempuan usia produktif yg sedang bekerja atau mencari kerja, punya pekerjaan sementara tidak dan tidak punya pekerjaan sama sekali tetapi aktif mencari pekerjaan.
Konsep dan definisi angkatan kerja yang digunakan mengacu kepada The Labor Force Concept yang disarankan oleh International Labor Organization (ILO). Konsep ini membagi penduduk usia kerja (digunakan 15 tahun ke atas) dan penduduk bukan usia kerja (kurang dari 15 tahun).  Selanjutnya penduduk usia kerja dibagi menjadi dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Khusus untuk angkatan kerja meliputi antara lain:
a)      Bekerja
b)      Punya pekerjaan tapi sementara tidak bekerja
c)      Mencari pekerjaan (pengangguran terbuka).
Angkatan kerja dapat didefinisikan sebagai penduduk yang sudah memasuki usia kerja, baik yang sudah bekerja, belum bekerja, atau sedang mencari pekerjaan. Prof. Soemitro Djojohadikusumo mendefinisikan angkatan kerja (labor force) sebagai bagian dari jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan atau yang sedang mencari kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang produktif.
Angkatan kerja dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu pekerja (employed)
dan bukan pekerja atau pengangguran (unemployed). Pekerja adalah penduduk
angkatan kerja yang benar-benar mendapat pekerjaan penuh, sedangkan pengangguran adalah penduduk usia kerja tetapi belum mendapatkan kesempatan bekerja.
Mulai Tahun 2005, SAKERNAS dilaksanakan secara semester I (bulan Pebruari) dan Semester II (bulan Agustus). Survei tersebut dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik di seluruh Indonesia.
Sumber utama data ketenagakerjaan adalah Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Survei ini khusus dirancang untuk mengumpulkan informasi/ data ketenagakerjaan. Pada beberapa survei sebelumnya, pengumpulan data ketenagakerjaan dipadukan dalam kegiatan lainnya, seperti Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Sensus Penduduk (SP), dan Survei Penduduk Antar Sensus (Supas). Sakernas pertama kali diselenggarakan pada tahun 1976, kemudian dilanjutkan pada tahun 1977 dan 1978. Pada tahun 1986-1993, Sakernas diselenggarakan secara triwulanan di seluruh provinsi di Indonesia, sedangkan tahun 1994 - 2001, Sakernas dilaksanakan secara tahunan yaitu setiap bulan Agustus. Sejak tahun 2002 hingga sekarang, di samping Sakernas tahunan dilakukan pula Sakernas Triwulanan. Sakernas Triwulanan ini dimaksudkan untuk memantau indikator ketenagakerjaan secara dini di Indonesia, yang mengacu pada KILM (the Key Indicators of the Labour Market) yang direkomendasikan oleh ILO (theInternational Labour Organization).
Penduduk Usia Kerja adalah Penduduk yang berumur 15 tahun keatas. Angkatan Kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran.
Sumitro Djojohadikusumo mendefinisikan angkatan kerja sebagai bagian dari jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan atau yang sedang mencari kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang produktif. Faktor-faktor yang menentukan angkatan kerja menurut Sumitro diantaranya:
a.       Jumlah dan sebaran usia penduduk.
b.      Pengaruh keaktifan bersekolah terhadap penduduk berusia muda.
c.       Peranan kaum wanita dalam perekonomian.
d.      Pertambahan penduduk yang tinggi.
e.       Meningkatnya jaminan kesehatan.

1.1.4 Pekerja
Pekerja (employed) sendiri dikelompokkan menjadi dua, yaitu pekerja
penuh (full employed) dan pekerja setengah pengangguran (underemployed).
Pekerja penuh adalah angkatan kerja yang sudah memenuhi syarat sebagai
pekerja penuh yaitu jam kerja minimal 40 jam per minggu, dan bekerja
sesuai dengan keahlian atau berdasarkan pendidikan.
Sedangkan setengah pengangguran adalah pekerja yang tidak memenuhi
jam kerja minimal sehingga pendapatannya juga di bawah standar minimal.
Pekerja seperti ini tingkat produktivitasnya rendah karena mereka bekerja bukan
pada bidang keahliannya dan tidak sesuai latar belakang pendidikannya.
Misalnya, sarjana yang bekerja sebagai tukang antar koran di pagi hari.

1.1.5 Bekerja
Bekerja adalah melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu (termasuk pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi).

1.1.6 Pengangguran
Pengangguran adalah angkatan kerja yang belum dan sedang mencari pekerjaan. Pengangguran terjadi karena jumlah penawaran tenaga kerja lebih besar daripada permintaan tenaga kerja. Dengan kata lain, terjadinya surflus penawaran tenaga kerja di pasar tenaga kerja.Pengangguran seringkali menjadi salah satu permasalahan negera-negara berkembang, disatu sisi jumlah penduduk dari tahun ketahun terus bertambah, disisi lain peningkatan kemampuan ekonomi, baik pemerintah maupun swasta tidak secepat peningkatan jumlah penduduk. Terjadinya ketimpangan antara laju permintaan lapangan kerja dengan laju penawaran lapangan kerja mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah pengangguran.
Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang
            Jumlah penduduk yang besar pada dasarnya merupakan potensi yang sangat berharga ditinjau dari segi tenaga kerja, jika dapat didayagunakan dengan baik, penduduk yang sangat banyak dan memiliki keterampilan ini merupakan potensi yang berharga. Jumlah penduduk yang besar dan tidak memiliki keterampilan ini adalah kerugiannya yang dapat menyebabkan pengangguran di mana-mana.
            Hal yang diharapkan kesempatan seimbang dengan angkatan kerja tetapi hal ini tidak terwujud. Beberapa teori tentang “Dapatkah kesempatan kerja menampung seluruh angkatan kerja?”.
1.    Menurut kaum klasik, jika terjadi pengangguran dalam suatu negara, itu berarti penawaran tenaga kerja lebih besar daripada permintaan tenaga kerja.
2.    Menurut Keynes, penggunaan tenaga kerja secara penuh jarang sekali terjadi     
1.1.7 Klasifikasi dan Jenis Pengangguran
a. Pengganguran berdasarkan jam kerja
Berdasarkan jam kerja, pengangguran dikelompokkan menjadi 3 macam:
  1. Pengangguran Terselubung (Disguised Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena suatu alasan tertentu.
  2. Setengah Menganggur (Under Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada lapangan pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah menganggur ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.
  3. Pengangguran Terbuka (Open Unemployment) adalah tenaga kerja yang sungguh-sungguh tidak mempunyai pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal. Pengangguran terbuka adalah seseorang yang termasuk kelompok penduduk usia kerja yang tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan.

b. Pengangguran  berdasarkan penyebab terjadinya

Berdasarkan penyebab terjadinya, pengangguran dikelompokkan menjadi 7 macam:
1.      Pengangguran friksional (frictional unemployment)
Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerjaan.
2.      Pengangguran Struktural (Structural unemployment)
Pengangguran struktural adalah keadaan di mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya
3.      Pengangguran Teknologi (Technology unemployment)
Pengangguran yang disebabkan perkembangan/pergantian teknologi. Perubahan ini dapat menyebabkan pekerja harus diganti untuk bisa menggunakan teknologi yang diterapkan.
4.      Pengangguran Siklikal
Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.Pengangguran Musiman. Pengangguran akibat siklus ekonomi yang berfluktuasi karena pergantian musim. Umumnya pada bidang pertanian. Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, tukang jualan duren yang menanti musim durian.
5.      Setengah Menganggur
Setengah Menganggur adalah dimana keadaan pekerja yang memiliki jam kerja dibawah batas normal ( 8 jam kerja/ hari ) yaitu oramg yang bekerja antara 17-35 jam/ Minggu. Setengah Penganggur adalah orang yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu yang masih mencari pekerjaan atau yang masih bersedia menerima pekerjaan lain. Setengah pengangguran yang dimaksudkan defenisi itu disebut sebagai setengah pengangguran terpaksa. Sedangkan orang yang bekerja dibawah 35 jam per minggu namun tidak mencari pekerjaan dan tidak bersedia menerima pekerjaan lain dikelompokkan sebagai setengah pengangguran sukarela. Tingkat pengangguran = Tingkat pengangguran terbuka ( Pengangguran terbuka dibagi Angkatan kerja dikali 100) + Tingkat pengangguran setengah pengangguran terpaksa
  Konsep ini dibagi dalam :
a.       Setengah menganggur yang kentara Setengah menganggur yang kentara (visible underemployment) adalah jika seseorang bekerja tidak tetap (part time) di luar keinginannya sendiri, atau bekerja dalam waktu yang lebih pendek dari biasanya.
b.      Setengah menganggur yang tidak kentara Setengah menganggur yang tidak kentara (invisible underemployment) adalah jika seseorang bekerja secara penuh (full time) tetapi pekerjannya itu dianggap tidak mencukupi karena pendapatannya terlalu rendah atau pekerjaan tersebut tidak memungkinkan ia untuk mengembangkan seluruh keahliannya
6.      Pengangguran Tidak Kentara
Pengangguran tak kentara (disguised unemployment) Misalnya para petani yang bekerja di lading selama sehari penuh, apdahal pekerjaan itu sebenarnya tidak memerlukan waktu selama sehari penuh.

Menurut Edgar O. Edward (tahun 1974 ) Pengangguran dibagi kedalam 5 Bentuk :
1. Pengangguran terbuka : baik sukarela (mereka yang tidak mau bekerja karena mengharapkan pekerjaan yang lebih baik) maupun secara terpaksa (mereka yang mau bekerja tetapi tidak memperoleh pekerjaan).
2. Setengah menganggur (underemployment): yaitu mereka yang bekerja lamanya (hari, minggu, musiman) kurang dari yang mereka biasa kerjakan. Tampaknya bekerja tetapi tidak bekerja secara penuh: yaitu mereka yang tidak digolongkan sebagai pengangguran terbuka dan setengah pengangguran, termasuk di sini adalah:
a. Pengangguran tak kentara (disguised unemployment) Misalnya para petani yang bekerja di lading selama sehari penuh, apdahal pekerjaan itu sebenarnya tidak memerlukan waktu selama sehari penuh.
b. Pengangguran tersembunyi (hidden unemployment) Misalnya oaring yang bekerja tidak Sesuai dengan tingkat atau jenis pendidikannya.
c. Pensiun lebih awal Fenomena ini merupakan kenyataan yang terus berkembang di kalngan pegawai pemerintah. Di beberapa negara, usia pensiun dipermuda sebagai alat menciptakan peluang bagi yang muda untuk menduduki jabatan di atasnya.
4. Tenaga kerja yang lemah (impaired): yaitu mereka yang mungkin bekerja full time, tetapi intensitasnya lemah karena kurang gizi atau penyakitan.
5. Tenaga kerja yang tidak produktif : yaitu mereka yang mampu untuk bekerja secara produktif tetapi karena sumber daya-sumber daya penolong kurang memadai maka mereka tidak bisa menghasilkan sesuatu dengan baik.

1.1.7 Kesempatan Kerja
Kesempatan kerja adalah kebutuhan tenaga kerja yang kemudian secara riil diperlukan oleh perusahaan atau lembaga penerima kerja pada tingkat upah, posisi dan syarat kerja tertentu, yang diinformasikan melalui iklan dan lain lain.
Kesempatan kerja adalah suatu keadaan yang menggambarkan ketersediaan pekerjaan untuk diisi oleh para pencari kerja. Namun bisa diartikan juga sebagai permintaan atas tenaga kerja.
            Kesempatan kerja secara umum diartikan sebagai suatu keadaan yang mencerminkan jumlah dari total angkatan kerja yang dapat diserap atau ikut secara aktif dalam kegiatan perekonomian. Kesempatan kerja adalah penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja atau disebut pula pekerja. Bekerja yang dimaksud disini adalah paling sedikit satu jam secara terus menerus selama seminggu yang lalu
            Esmara (1986 :  134), kesempatan kerja dapat diartikan sebagai jumlah penduduk yang bekerja atau orang yang sudah memperoleh pekerjaan; semakin banyak orang yang bekerja semakin luas kesempatan kerja.
            Sagir (1994 : 52), memberi pengertian kesempatan kerja sebagai lapangan usaha atau kesempatan kerja yang tersedia untuk bekerja akibat dari suatu kegiatan ekonomi, dengan demikian kesempatan kerja mencakup lapangan pekerjaan yang sudah diisi dan kesempatan kerja juga dapat diartikan sebagai partisipasi dalam pembangunan. Sedangkan Sukirno (2000 : 68), memberikan pengertian kesempatan kerja sebagai suatu keadaan dimana semua pekerja yang ingin bekerja pada suatu tingkat upah tertentu akan dengan mudah mendapat pekerjaan.
            Swasono dan Sulistyaningsih (1993), memberi pengertian kesempatan kerja adalah termasuk lapangan pekerjaan yang sudah diduduki (employment) dan masih lowong (vacancy). Dari lapangan pekerjaan yang  masih lowong tersebut timbul kemudian kebutuhan tenaga kerja yang datang misalnya dari perusahaan swasta atau BUMN dan departemen-departemen pemerintah. Adanya kebutuhan tersebut berarti ada kesempatan kerja bagi orang yang menganggur. Dengan demikian kesempatan kerja (employment) yaitu kesempatan kerja yang sudah diduduki.
            Dari definisi di atas, maka kesempatan kerja apat dibedakan menjadi dua golongan yaitu
1.   Kesempatan kerja permanen yaitu kesempatan kerja yang memungkinkan orang bekerja secara terus-menerus sampai mereka pensiun atau tidak mampu lagi untuk bekerja. Misalnya adalah orang yang bekerja pada instansi pemerintah atau swasta yang memiliki jaminan sosial hingga hari tua dan tidak bekerja ditempat lain.
2.   Kesempatan kerja temporer yaitu kesempatan kerja yang memungkinkan seseorang bekerja dalam waktu yang relatif singkat, kemudian menganggur untuk menunggu kesempatan kerja baru. Misalnya adalah orang yang bekerja sebagai pegawai lepas pada perusahaan swata dimana pekerja mereka tergantung order.


















BAB II
TEORI KETENAGAKERJAAN

2.1 Teori Ketenagakerjaan
2.1.1  Teori Klasik Adam Smith
            Adam smith (1729-1790) merupakan tokoh utama dari aliran ekonomi yang kemudian dikenal sebagai aliran klasik. Dalam hal ini teori klasik Adam Smith juga melihat bahwa alokasi sumber daya manusia yang efektif adalah pemula pertumbuhan ekonomi. Setelah ekonomi tumbuh, akumulasi modal (fisik) baru mulai dibutuhkan untuk menjaga agar ekonomi tumbuh. Dengan kata lain, alokasi sumber daya manusia yang efektif merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi.

2.1.2. Teori Malthus
Sesudah Adam Smith, Thomas Robert Malthus (1766-1834) dianggap sebagai pemikir klasik yang sangat berjasa dalam pengembangan pemikiran-pemikiran ekonomi. Thomas Robert Malthus mengungkapkan bahwa manusia berkembang jauh lebih cepat dibandingkan dengan produksi hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia berkembang sesuai dengan deret ukur, sedangkan produksi makanan hanya meningkat sesuai dengan deret hitung.
Malthus juga berpendapat bahwa jumlah penduduk yang tinggi pasti mengakibatkan turunnya produksi perkepala dan satu-satunya cara untuk menghindari hal tersebut adalah melakukan kontrol atau pengawasan pertumbuhan penduduk. Beberapa jalan keluar yang ditawarkan oleh malthus adalah dengan menunda usia perkawinan dan mengurangi jumlah anak. Jika hal ini tidak dilakukan maka pengurangan penduduk akan diselesaikan secara alamiah antara lain akan timbul perang, epidemi, kekurangan pangan dan sebagainya.

2.1.3. Teori Keynes
John Maynard Keynes (1883-1946) berpendapat bahwa dalam kenyataan pasar tenaga kerja tidak bekerja sesuai dengan pandangan klasik. Dimanapun para pekerja mempunyai semacam serikat kerja (labor union) yang akan berusaha memperjuangkan kepentingan buruh dari penurunan tingkat upah.
Kalaupun tingkat upah diturunkan tetapi kemungkinan ini dinilai keynes kecil sekali, tingkat pendapatan masyarakat tentu akan turun. Turunnya pendapatan sebagian anggota masyarakat akan menyebabkan turunnya daya beli masyarakat, yang pada gilirannya akan menyebabkan konsumsi secara keseluruhan berkurang. Berkurangnya daya beli masyarakat akan mendorong turunya harga-harga.
Kalau harga-harga turun, maka kurva nilai produktivitas marjinal labor ( marginal value of productivity of labor) yang dijadikan sebagai patokan oleh pengusaha dalam mempekerjakan labor akan turun. Jika penurunan harga tidak begitu besar maka kurva nilai produktivitas hanya turun sedikit. Meskipun demikian jumlah tenaga kerja yang bertambah tetap saja lebih kecil dari jumlah tenaga kerja yang ditawarkan. Lebih parah lagi kalau harga-harga turun drastis, ini menyebabkan kurva nilai produktivitas marjinal labor turun drastis pula, dan jumlah tenaga kerja yang tertampung menjadi semakin kecil dan pengangguran menjadi semakin luas.

2.1.4. Teori Harrod-domar
Teori Harod-domar (1946) dikenal sebagai teori pertumbuhan. Menurut teori ini investasi tidak hanya menciptakan permintaan, tapi juga memperbesar kapasitas produksi. Kapasitas produksi yang membesar membutuhkan permintaan yang lebih besar pula agar produksi tidak menurun. Jika kapasitas yang membesar tidak diikuti dengan permintaan yang besar, surplus akan muncul dan disusul penurunan jumlah produksi.

2.2. Teori Tentang Tenaga Kerja
Salah satu masalah yang biasa muncul dalam bidang angkatan kerja seperti yang sudah dibukakan dalam Latar belakang dari pemelihan judul ini adalah ketidak seimbangan akan permintaan tenaga kerja (demand for labor) dan penawaran tenaga kerja (supply of labor), pada suatu tingkat upah. Ketidakseimbangan tersebut penawaran yang lebih besar dari permintaan terhadap tenaga kerja (excess supply of labor) atau lebih besarnya permintaan dibanding penawaran tenaga kerja (excess demand for labor) dalam pasar tenaga kerja.
Gambar 2.1 : Kurva Penawaran Tenaga Kerja

Gambar 2.2 : Kurva Excess supply of labour
Gambar 2.3 : Kurva Excess Demand of labour

Keterangan Gambar :
SL = Penawaran tenaga kerja (supply of labor)
DL = Permintaan tenaga kerja (demand for labor)
W = Upah (wage)
L = Jumlah tenaga kerja (labor)
Penjelasan gambar:
(1). Jumlah orang yang menawarkan tenaganya untuk bekerja adalah sama dengan jumlah tenaga kerja yang diminta, yaitu masing-masing sebesar Le pada tingkat upah keseimbangan We. Dengan demikian, Titik keseimbangan adalah titik E. Pada tingkat upah keseimbangan We, semua orang yang ingin bekerja telah dapat bekerja. Berarti tidak orang yang menganggur. Secara ideal keadaan ini disebut full employment pada tingkat upah We.
(2). Pada gambar kedua, terlihat adanya excess supply of labor. Pada tingkat upah W1, penawaran tenaga kerja (SL) lebih besar daripada permintaan tenaga kerja (DL). Jumlah orang yang menawarkan dirinya untuk bekerja adalah sebanyak N2, sedangkan yang diminta hanya N1. Dengan demikian, ada orang yang menganggur pada tingkat upah W1 sebanyak N1N2.
(3). Pada gambar ketiga, terlihat adanya excess demand for labor. Pada tingkat upah W1, permintaan akan tenaga kerja (DL) lebih besar daripada penawaran tenaga kerja (SL). Jumlah orang yang menawarkan dirinya untuk bekerja pada tingkat upah W1 adalah sebanyak N1, sedangkan yang diminta adalah sebanyak N2.


























BAB III  HUBUNGAN INDUSTRIAL

3.1         Pengertian Hubungan Industrial

Menurut Payaman J. Simanjuntak (2009), Hubungan industial adalah Hubungan semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau jasa di suatu perusahaan. Pihak yang berkepentingan dalam setiap perusahaan (Stakeholders):
  1. Pengusaha atau pemegang saham yang sehari-hari diwakili oleh pihak manajemen
  2. Para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
  3. Supplier atau perusahaan pemasok
  4. Konsumen atau para pengguna produk/jasa
  5. Perusahaan Pengguna
  6. Masyarakat sekitar
  7. Pemerintah
Disamping para stakeholders tersebut, para pelaku hubungan industrial juga melibatkan:
  1. Para konsultan hubungan industrial dan/atau pengacara
  2. Para Arbitrator, konsiliator, mediator, dan akademisi
  3. Hakim-Hakim Pengadilan hubungan industrial
Abdul Khakim (2009) menjelaskan, istilah hubungan industrial merupakan terjemahan dari "labour relation" atau hubungan perburuhan. Istilah ini pada awalnya menganggap bahwa hubungan perburuhan hanya membahas masalah-masalah hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha. Seiring dengan perkembangan dan kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa masalah hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha ternyata juga menyangkut aspek-aspek lain yang luas. Dengan demikian, Abdul Khakim (2009) menyatakan hubungan perburuhan tidaklah terbatas hanya pada hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha, tetapi perlu adanya campur tangan pemerintah.

3.2 Prinsip-Prinsip Hubungan Industrial

Payaman J. Simanjuntak (2009) menjelaskan beberapa prinsip dari Hubungan industrial, yaitu :
  1. Kepentingan Bersama: Pengusaha, pekerja/buruh, masyarakat, dan pemerintah
  2. Kemitraan yang saling menguntungan: Pekerja/buruh dan pengusaha sebagai mitra yang saling tergantung dan membutuhkan
  3. Hubungan fungsional dan pembagian tugas
  4. Kekeluargaan
  5. Penciptaan ketenangan berusaha dan ketentraman bekerja
  6. Peningkatan produktivitas
  7. Peningkatan kesejahteraan bersama

3.3  Sarana Pendukung Hubungan Industrial

Payaman J. Simanjuntak (2009) menyebutkan sarana-sarana pendukung Hubungan industrial, sebagai berikut :
  1. Serikat Pekerja/Buruh
  2. Organisasi Pengusaha
  3. Lembaga Kerjasama bipartit (LKS Bipartit)
  4. Lembaga Kerjasama tripartit (LKS Tripartit
  5. Peraturan Perusahaan
  6. Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
  7. Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaaan
  8. Lembaga penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial

3.4 Perundingan Kerja Bersama (PKB)

Perjanjian Kerja Bersama atau disingkat PKB merupakan pijakan karyawan dalam menorehkan prestasi yang pada gilirannya akan berujung kepada kinerja korporat dan kesejahteraan karyawan. Jadi, PKB memang penting bagi perusahaan manapun. Hubungan kerja senantiasa terjadi di masyarakat, baik secara formal maupun informal, dan semakin intensif didalam masyarakat modern. Di dalam hubungan kerja memiliki potensi timbulnya perbedaan pendapat atau bahkan konflik. Untuk mencegah timbulnya akibat yang lebih buruk, maka perlu adanya pengaturan di dalam hubungan kerja ini dalam bentuk PKB. Dalam prakteknya, persyaratan kerja diatur dalam bentuk perjanjian kerja yang sifatnya perorangan.
Perjanjian kerja Bersama ini dibuat atas persetujuan pemberi kerja dan Karyawan yang bersifat individual. Pengaturan persyaratan kerja yang bersifat kolektif dapat dalam bentuk Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).Perjanjian Kerja Bersama atau PKB sebelumnya dikenal juga dengan istilah KKB (Kesepakatan Kerja Bersama) / CLA (Collective Labour Agreement) adalah merupakan perjanjian yang berisikan sekumpulan syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak yang merupakan hasil perundingan antara Pengusaha, dalam hal ini diwakili oleh Managemen Perusahaan dan Karyawan yang dalam hal ini diwakili oleh Serikat Karyawan, serta tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Hal ini juga tertuang dalam Pasal 1 UU No.13 tahun 2003 Point 21.PKB dibuat dengan melalui perundingan antara managemen dan serikat karyawan.
Kesemua itu untuk menjamin adanya kepastian dan perlindungan di dalam hubungan kerja, sehingga dapat tercipta ketenangan kerja dan berusaha. Lebih dari itu, dengan partisipasi ini juga merupakan cara untuk bersama-sama memperkirakan dan menetapkan nasib perusahaan untuk masa depan.Masa berlakunya PKB paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun. PKB juga merupakan suatu instrumen yang digunakan untuk untuk menjalankan hubungan industrial, dimana sarana yang lain adalah serikat karyawan, organisasi pengusaha, lembaga kerjasama bipartit, lembaga kerjasama tripartit, peraturan perusahaan, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Menurut ketentuan, Perundingan pembuatan PKB berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya PKB yang sedang berlaku. Dalam hal perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka PKB yang sedang berlaku tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun. Sehingga dengan demikian proses pembuatan PKB tidak memakan waktu lama dan berlarut-larut sampai terjadi kebuntuan (dead lock) yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum.





















BAB IV
SISTEM PENGUPAHAN

4.1  Pendahuluan
Upah adalah segala macam pembayaran yang timbul dari kontrak kerja, terlepas dari jenis pekerjaan dan denominasinya. Upah menunjukkan penghasilan yang diterima oleh pekerja sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya. Upah dapat diberikan baik dalam bentuk tunai atau natura, atau dalam bentuk tunai natura. Sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan ditetapkan. Sistem pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan kepada tingkat fungsi upah, yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang dan menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja.
Penghasilan yang di terima karyawan digolongkan ke dalam empat bentuk yaitu upah atau gaji, tunjangan dalam bentuk natura (seperti beras, gula dan pakaian), fringe benefits (dalam bentuk dana yang disisihkan pengusaha untuk pensiun, asuransi kesehatan, kendaraan dinas, makan siang) dan kondisi lingkungan kerja. Sistem penggajian di Indonesia pada umumnya mempergunakan gaji pokok yang didasarkan pada kepangkatan dan masa kerja. Pangkat seseorang umumnya didasarkan pada tingkat pendidikan dan pengalaman kerja. Dengan kata lain, penentuan gaji pokok pada umumnya didasarkan pada prinsip-prinsip teori human capital, yaitu bahwa upah atau gaji seseorang diberikan sebanding dengan tingkat pendidikan dan latihan yang dicapainya. Di samping gaji pokok, pekerja menerima juga berbagai macam tunjangan, masing-masing sebagai persentase dari gaji pokok atau jumlah tertentu seperti tunjangan jabatan, tunjangan keluarga dan lain-lain. Jumlah gaji dan tunjangan-tunjangan tersebut dinamakan gaji kotor. Gaji bersih yang diterima adalah gaji kotor yang dikurangi potongan-potongan seperti potongan untuk dana pensiun, asuransi kesehatan dan lain sebagainya. Jumlah gaji bersih ini disebut dengan take home pay.

4.2  Perbedaan Tingkat Upah
            Perbedaan tingkat upah terletak dari satu sektor ke sektor industri lainnya maupun antar daerah. Perbedaan ini pada dasarnya disebabkan oleh satu atau lebih dari sembilan alasan dibawah ini. Perbedaan tingkat upah tersebut terjadi karena :
Pertama,  karena pada dasarnya pasar kerja itu sendiri, terdiri dari beberapa pasar kerja yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Disatu pihak, pekerjaan yang berbeda memerlukan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang berbeda. Produktivitas kerja seeorang berbeda menurut pendidikan dan latihan yang diperolehnya. Perbedaan tingkat upah dapat terjadi karena perbedaan tingkat pendidikan, latihan dan pengalaman.
            Kedua, tingkat upah di tiap perusahaan berbeda menurut persentase biaya pekerja terhadap seluruh biaya produksi. Semakin kecil proporsi biaya pekerja terhadap biaya keseluruhan, semakin tinggi tingkat upah. Misalnya pada perusahaan-perusahaan yang padat modal seperti perusahaan minyak, pertambangan, industri berat.
Ketiga, perbedaan tingkat upah antara beberapa perusahaan dapat pula terjadi menurut perbedaan proporsi keuntungan perusahaan terhadap penjualannya. Semakin besar proporsi keuntungan terhadap penjualan dan semakin besar jumlah absolute keuntungan, semakin tinggi nilai upah.
Keempat, perbedaan tingkat upah antar perusahaan dapat berbeda karena perbedaan peranan pengusaha yang bersangkutan dalam menentukan harga. Perusahaan-perusahaan monopoli dapat menaikkan harga tanpa takut akan kompetisi. Pengusaha-pengusaha oligopoli lebih mudah untuk bersama-sama berunding menentukan harga, sehingga tidak perlu berkompetisi satu sama lain. Dalam perusahaan-perusahaan tersebut lebih mudah untuk menimpakan kenaikan upah kepada harga jual barang.
Kelima, tingkat upah dapat berbeda menurut besar kecilnya perusahaan. Perusahaan yang besar dapat memperoleh kemanfaatan “economic of scale” dan oleh sebab itu dapat menurunkan harga, sehingga mendominasi pasar. Dengan demikian perusahaan yang besar cenderung lebih mampu memberikan tingkat upah yang tingggi daripada perusahaan kecil.
Keenam, tingkat upah dapat berbeda menurut tingkat efisiensi dan manajemen perusahaan. Semakin efektif manajemen perusahaan, semakin efisien cara-cara penggunaan faktor produksi, dan semakin besar upah yang dapat dibayarkan kepada para pekerja.
Ketujuh, perbedaan kemampuan atau kekuatan serikat pekerja dapat mengakibatkan perbedaan tingkat upah. Serikat pekerja yang kuat dalam arti mengemukakan alasan-alasan yang wajar biasanya cukup berhasil dalam mengusahakan kenaikan upah.
Kedelapan, tingkat upah dapat pula berbeda karena faktor kelangkaan. Semakin langka tenaga kerja dengan ketrampilan tertentu, semakin tinggi upah yang ditawarkan pengusaha.
Kesembilan, tingkat upah dapat berbeda sehubungan dengan besar kecilnya resiko atau kemungkinan mendapat kecelakaan di lingkungan pekerjaan. Semakin tinggi mendapat resiko, semakin tinggi tingkat upah. Dan yang terakhir, perbedaan tingkat upah dapat terjadi karena pemerintah campur tangan seperti dalam menentukan upah minimum yang berbeda.

4.3 Masalah Pengupahan
Masalah pertama yang timbul dalam bidang pengupahan dan karyawan pada umumnya pengertian dan kepentingan yang berbeda mengenai upah. Bagi pengusaha, upah dapat dipandang menjadi beban karena semakin besar upah yang dibayarkan pada pekerja, semakin kecil proporsi keuntungan bagi pengusaha. Segala sesuatu yang dikeluarkan oleh pengusaha sehubungan dengan mempekerjakan seseorang dipandang sebagai komponen upah. Dilain pihak, karyawan dan keluarganya biasanya menganggap upah hanya sebagai apa yang diterimanya dalam bentuk uang (take home pay). Kenyataan menunjukkan bahwa hanya sedikit pengusaha yang secara sadar dan sukarela berusaha meningkatkan penghidupan karyawannya. Dilain pihak, karyawan melalui Serikat pekerja dengan mengundang campur tangan pemerintah selalu menuntut kenaikan upah dan perbaikan fringe benefit. Jika tuntunan seperti itu tidak disertai dengan peningkatan produktivitas kerja akan mendorong pengusaha akan mengurangi penggunaan tenaga kerja dengan menurunkan produksi, menggunakan teknologi yang lebih padat modal atau mendorong harga jual barang yang kemudian mendorong inflasi.
Masalah kedua di bidang pengupahan berhubungan dengan keanekaragaman sistem pengupahan. Proporsi sebagian upah dalam bentuk natura dan fringe benefit cukup besar, dan besarnya tidak seragam antara perusahaan-perusahaan. Sehingga kesulitan sering diketemukan dalam perumusan kebijakan nasional, misalnya dalam hal menentukan pajak pendapatan, upah minimum, upah lembur dan lain-lain.
Masalah ketiga yang dihadapi dalam bidang pengupahan adalah rendahnya tingkat upah atau pendapatan masyarakat. Rendahnya tingkat upah ini disebabkan karena tingkat kemampuan manajemen yang rendah sehingga menimbulkan berbagai macam pemborosan dana, sumber-sumber dan waktu. Selain itu, penyebab rendahnya tingkat upah karena rendahnya produktivitas kerja. Produktivitas kerja karyawan rendah, sehingga pengusaha memberikan imbalan dalam bentuk yang rendah juga.

4. 4 Karakteristisk Upah
4. 4. 1  Upah per satuan (piece rates) dan upah per jam (time rates)
Saudara mahasiswa, kita akan membahas karakteristik kontrak kerja antara pekerja dan perusahaan berupa penetapan upah per satuan (piece rates) dan upah per jam (time rates). Masalah yang muncul pada kontrak kerja kerja akan mempengaruhi produktivitas tenaga kerja dan tingkat keuntungan perusahaan. Jenis kontrak kerja yang dipilih sangat penting karena pemberi kerja sering tidak tahu produktivitas pekerja yang sebenarnya, sementara pekerja menginginkan upah yang besar dengan kerja yang sekecil mungkin.
Sistem upah per satuan mengkompensasi pekerja berdasarkan pada output yang dihasilkan oleh pekerja. Sebagai contoh pekerja garmen dibayarkan berdasarkan pada seberapa banyak jumlah celana yang dihasilkan, para tenaga penjual dibayar sesuai dengan besarnya komisi tertentu dari volume penjualannya. Sedangkan kompensasi upah pekerja per jam sangat bergantung kepada jumlah jam kerja yang dialokasikan pekerja dalam pekerjaannya dan tidak berhubungan sama sekali dengan jumlah output yang dihasilkan pekerja. Perusahaan yang memiliki biaya pengawasan yang tinggi jika memberikan tingkat upah per satuan yang kecil kepada pekerja maka hanya sedikit pekerja yang mau menerima upah yang demikian sedikitnya (low take home salaries). Sehingga perusahaan yang menghadapi biaya pengawasan yang tinggi lebih memilih upah per jam (berdasarkan waktu), sementara perusahaan yang menghadapi biaya pengawasan yang rendah memilih tingkat upah per satuan. Oleh karenanya, upah per satuan sering dipakai untuk membayar pekerja yang outputnya dapat diamati dengan mudah misalkan jumlah celana yang diproduksi, volume penjualan pada periode yang lalu, semetara upah per jam ditawarkan bagi para pekerja yang outputnya sulit untuk diukur seperti upah bagi para professor di Universitas atau para pekerja pada tim produksi software.

4.4.2 Keuntungan dan keburukan dari penerapan sistem pembayaran per satuan (piece rate)
Pembayaran per satuan mampu menarik pekerja dengan kemampuan besar, sistem pembayaran langsung berhubungan dengan kinerja, meminimalkan hal-hal yang bersifat diskriminasi dan nepotisme dan meningkatkan produktivitas perusahaan. Disamping keuntungan, terdapat keburukan dari system kompensasi piece rate yaitu ada kemungkinan diantara anggota tim di lini produksi akan mengalami free rider dari kerja yang dihasilkan anggota yang lain, jika produktivitas dalam satu lini produksi sangat bergantung produktivitas pada lini produksi yang lain yang dihitung berdasarkan pada output tim. Selain itu sistem penggajian dengan piece rate, pekerja lebih suka mengabaikan kualitas ketimbang kuantitas. Banyak pekerja yang tidak menyukai system piece rate karena upah mereka sangat fluktuatif sepanjang waktu. Sebagai contoh, penerimaan harian pemetik buah stroberi sangat bergantung pada kondisi cuaca. Yang terakhir, pekerja pada perusahaan yang menggaji dengan piece rate mengalami kegelisahan jika terjadi ”ratchet effect” Misalkan ada pekerja yang menghasilkan output lebih besar dibandingkan dengan perkiraan perusahaan. Manajer perusahaan mungkin akan mengira tingkat output yang tinggi yang dihasilkan pekerja merupakan pekerjaan yang tidak terlalu sulit untuk dilakukan dan perusahaan merasa telah membayar pekerja terlalu mahal. Pada periode selanjutnya, tingkat upah piece rate direndahkan dan pekerja harus bekerja lebih  keras lagi untuk mengkompensasinya lagi.

4.4.4 Kebijakan Penentuan Upah
Kriteria yang paling umum digunakan dalam menentukan tingkat upah yaitu berdasarkan ukuran kesetaraan berupa pembayaran yang sama bagi pekerjaan yang sama, ukuran kebutuhan berupa biaya hidup, upah untuk hidup dan daya beli, kemudian ukuran kontribusi berupa kemampuan membayar perusahaan dan produktivitas yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Saat ini yang berlaku adalah Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan di masing – masing daerah.



4.5 Upah Minimum
Kebijakan penetapan upah minimum dalam kerangka perlindungan upah dewasa ini masih menemui banyak kendala sebagai akibat belum terwujudnya satu keseragaman upah, baik secara regional/wilayah-propinsi atau kabupaten/kota, dan sektor wilayah propinsi atau kabupaten/kota, maupun secara nasional. Dalam menetapkan kebijakan pengupahan memang perlu diupayakan secara sistematis, baik ditinjau dari segi makro maupun segi mikro seirama dengan upaya pembangunan ketenagakerjaan, utamanya perluasan kesempatan kerja, peningkatan produksi, peningkatan taraf hidup pekerja sesuai dengan kebutuhan hidup minimalnya.
Dalam penetapan upah minimum ini masih terjadi perbedaan-perbedaaan yang didasarkan pada tingkat kemampuan, sifat dan jenis pekerjaan di masing-masing perusahaan yang kondisinya berbeda-beda, masing-masing wilayah/daerah yang tidak sama. Oleh karena itu, upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten/kota dan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota. Kebijakan ini selangkah lebih maju dari sebelumnya yang ditetapkan berdasarkan sub-sektoral, sektoral, sub-regional, dan regional.
Dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah ditetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak, dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi meliputi : a. upah minimum berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten/kota; b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota.
Upah minimum tersebut ditetapkan oleh Gubernur untuk wilayah propinsi, dan oleh Bupati/Walikota untuk wilayah Kabupaten/Kota, dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Propinsi atau Bupati/Walikota. Dalam hal ini pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum yang telah ditetapkan untuk masing-masing wilayah propinsi dan/atau kabupaten/kota. Bagi pengusaha yang karena sesuatu hal tidak atau belum mampu menbayar upah minimum yang telah ditetapkan dapat dilakukan penangguhan selama batas jangka waktu tertentu. Dalam hal upah minimum ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja, tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila kesepakatan dimaksud lebih rendah dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penetapan upah tersebut tidak boleh ada diskriminasi antara pekerja laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya sebagaimana dimaksud dalam Konvensi 100 yang diratifikasi berdasarkan Undang-Undang No. 80 tahun 1957 (Lembaran Negara No.171 tahun 1957).
 
4.5.1
Keseragaman Pengupahan
Dengan adanya sistem penetapan upah minimum berdasarkan wilayah propinsi atau wilayah kabupaten/kota, dan sector pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota, berarti masih belum ada keseragaman upah disemua perusahaan dan wilayah/daerah.
Hal ini dapat dipahami mengingat kondisi dan sifat perusahaan disetiap sector wilayah/daerah tidak sama dan belum bisa disamakan. Demikian juga kebutuhan hidup minimum seseorang pekerja sangat tergantung pada situasi dan kondisi wilayah/daerah dimana perusahaan tempat bekerja itu berada. Belum ada keseragaman upah tersebut justru masih didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan demi kelangsungan hidup perusahaan dan pekerja yang bersangkutan. Apabila bila mengingat strategi kebutuhan pokok terhadap pekerja yang berada pada sector informal didaerah perkotaan yang pada umumnya masih mempunyai penghasilan dibawah suatu taraf hidup tertentu.

4.5.
2 Kuantitas Tingkat Upah
Seperti diketahui sistem pengupahan yang bersifat beragam menyebabkan kuantitas tingkat upah khususnya dalam penetapan upah minimum terjadi perbedaan-perbedaan. Kebijakan sektoral dan regional didasarkan pada pemilihan wilayah/daerah-daerah berikut sektor-sektor ekonominya yang potensial serta dengan mempertimbangkan beberapa aspek yang mempengaruhi antara lain :
1.      Aspek kondisi perusahaan.
Melalui aspek ini dapat diperoleh kriteria-kriteria perusahaan kecil, perusahaan menengah, dan perusahaan besar baik didalam satu sektor atau wilayah/daerah maupun berlainan sektor atau wilayah/daerah. Kriteria-kriteria tersebut membawa konsekuensi pada kemampuan perusahaan yang tidak sama dalam memberi upah pekerja. Hal ini sudah tentu tergantung pada besarnya modal dan kegiatan usaha masing-masing perusahaan dan tingkat produksi, serta produktivitas tenaga kerjanya.

2.      Aspek keterampilan tenaga kerja.
Peningkatan produksi dan prodiktivitas kerja, sangat ditentukan oleh kemampuan personil perusahaan, baik ditingkat bawah yakni tenaga kerja terampil, maupun ditingkat atas yakni pimpinan manajemen yang mampu menjadi penggerak tenaga kerja (pekerja) yang dipimpinnya untuk bekerja secara produktif.
Tenaga kerja merupakan modal dasar bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi perusahaan, apabila tenaga kerja tersebut sebagai sumber daya ekonomi dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Tingkat kemampuan tenaga kerja dan pimpinan manajemen dalam suatu perusahaan, memberikan peranan yang menentukan untuk merubah kondisi perusahaan tersebut menjadi lebih baik dan maju. Kondisi seperti ini memberikan dampak positif bagi upaya peningkatan kesejahteraan tenaga kerja (pekerja) melalui pemberian upah yang lebih tinggi, serta jaminan-jaminan sosial lainnya.
3.      Aspek standard hidup.
 Peningkatan tingkat upah pekerja selain dipengaruhi oleh kondisi perusahaan dan keterampilan tenaga kerjanya, juga dipengaruhi oleh standard hidup pada suatu wilayah atau daerah dimana perusahaan itu berada. Standard hidup di daerah perkotaan biasanya lebih tinggi dibanding didaerah pedesaan.
Peningkatan tingkat upah ini selain didasarkan pada kebutuhan pokok (basic needs) tenaga kerja yang bersangkutan sesuai tingkat perkembangan ekonomi dan sosial di wilayah/daerah tertentu. Kebutuhan pokok tersebut tidak hanya terbatas pada persoalan sandang, pangan dan papan, akan tetapi meliputi juga pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan lain sebagainya.

4.      Aspek jenis pekerjaan.
Perbedaan pada jenis pekerjaan ini mengakibatkan terjadinya perbedaan tingkat upah, baik pada suatu sektor yang sama, maupun pada sektor yang berlainan. Tingkat upah pada sektor industri, tidak sama dengan tingkat upah di sektor pertanian, tidak sama pula dengan sektor perhotelan, dan sebagainya. Tingkat upah pada industri rokok atau pemintalan benang misalnya, tidak sama dengan tingkat upah pada industri mesin, dan sebagainya. Aspek jenis pekerjaan mempunyai arti yang khusus, karena diperolehnya pekerjaan, dapat membantu tercapainya kebutuhan pokok bagi pekerja yang bersangkutan. Meningkatnya taraf jenis pekerjaan dapat membantu peningkatan taraf hidup sebagai akibat meningkatnya upah yang diterima pekerja dari pekerjaannya itu.

4.5.3 Penetapan upah dan tunjangan lainnya melalui perundingan kolektif
            Perundingan kolektif diperlukan perusahaan dalam negosiasi penetapan upah yang melibatkan serikat pekerja sebagai mitra sejajar dengan pemberi kerja.  Peningkatan upah yang dihasilkan melalui perundingan antara pekerja dan pemberi kerja cenderung berhasil meningkatkan produktivitas.
4.5.4  Macam Bentuk Kompensasi Pekerja
Upah merupakan hasil balas jasa yang diterima oleh pekerja berdasarkan lama waktu yang habiskan untuk menyelesaikan pekerjaan atau seberapa banyak hasil produksi yang ia hasilkan. Upah merupakan balas jasa yang diberikan kepada para buruh produksi atau pekerja tidak tetap. Sedangkan Gaji merupakan Kompensasi pekerja yang dihitungn berdasarkan basis tahunan dan bulanan, atau bahkan mingguan, gaji biasanya diterima oleh pegawai, pegawai tetap suatu perusahaan baik swasta maupun negeri.
Macam – macam bentuk upah antara lain :
  1. Upah Berdasarkan Waktu, upah ini dihtung berdasarkan banyaknya waktu/jam yang diberikan pekerja terhadap perusahaan, dapat dihitung berdasar per jam, per minggu, per bulan.
  2. Upah Berdasarkan Hasil, didasarkan atas hasil yang diperoleh pekerja secara kuantitas/jumlah dalam kurun waktu produksi secara individu maupun team.
  3. Bonus, merupakan upah tambahan yang diberikan kepada karyawan disamping gaji tetap yang sudah diterima sebagai penghargaan.
  4. Pembagian Keuntungan
  5. Upah borongan, Menurut sistem ini pembayaran upah berdasarkan atas kesepakatan bersama antara pemberi dan penerima pekerjaan. Misalnya upah untuk memperbaiki mobil yang rusak, membangun rumah, dll.
  6. Sistem mitra usaha Dalam sistem ini pembayaran upah sebagian diberikan dalam bentuk saham perusahaan, tetapi saham tersebut tidak diberikan kepada perorangan melainkan pada organisasi pekerja di perusahaan tersebut. Dengan demikian hubungan kerja antara perusahaan dengan pekerja dapat ditingkatkan menjadi hubungan antara perusahaan dan mitra kerja.











DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2000). Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2000.   Buku I. Jakarta: BPS.
______. (2001). Indikator Ekonomi. Jakarta: BPS.
______. (2002). Indikator Ekonomi. Jakarta: BPS.
______. (2004). Indikator Kesejahteraan Rakyat (Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004). Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
______. (2005). Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk. Buku I. Jakarta.
______. (2007). Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia. Statistik Indonesia, Jakarta.
Bakir, Zainab dan  Manning,Cris. (1984). Angkatan Kerja Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Gujarati, D. (2001). Ekonometrika Dasar. Jakarta: Erlangga.
Esmara, H (1986), Sumber Daya Manusia, Kesempatan Kerja Dan Perkembangan      Ekonomi. UI Press. Jakarta.
Julana, Ima. (2001). Analisis Tingkat Pengangguran di Indonesia Akibat Pengaruh     Tingkat Pengangguran pada Periode yang Lalu. Skripsi (tidak dipublikasikan). FE            Unsyiah, Banda Aceh.
Nanga, Muana. (2005). Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan. Edisi Kedua.   Jakarta: PT. Raja Grafika Persada.
Sagir, Soeharsono (1985), Kesempatan Kerja, Ketahanan Nasional Dan Pembangunan            Manusia Seutuhnya, Alumni Bandung.
Suhartini, S. dan S. Mardianto. 2001. Transfromasi Struktur Kesempatan Kerja Sektor           Pertanian ke Non Pertanian di Indonesia. Agro-Ekonomika No.2 Oktober 2001.       PERHEPI, Jakarta
Sulistyaningsih, E. 1997. Dampak Perubahan Struktur Ekonomi pada Struktur           Kebutuhan Kualitas Tenagakerja di Indonesia, 1980-1990; Pendekatan Input-           Output. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sukirno, Sadono (1981), Pengantar Teori Ekonomi Modern, Edisi 2, PT. Raja Gravindo           Persada. Jakarta.
_______. (2004). Makro Ekonomi. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
_______.(2005). Makro Ekonomi Modern. Edisi Ketiga. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT. Raja        Grafika Persada.
Swasono dan Sulistyaningsih (1993), Pengembangan Sumberdaya Manusia: Konsepsi Makro untuk Pelaksanaan di Indonesia. Izufa Gempita, Jakarta.